Psikologi Kejiwaan Anak

Psikologi Kejiwaan Anak pada Masa Transisi



Kajian pencarian jati diri bisa berdampak negatif dan juga positif, bagi diri sendiri, keluarga, teman, lingkungan dan juga perubahan sikap, sudut pandang dan gaya hidup. Seseorang tidak perlu menjadi
seseorang yang lain untuk mengubah jati diri dari keadaan semula menjadi keadaan kemudian, dalam hal ini seorang anak pada masa transisi, yaitu masa peralihan dari masa remaja menjadi masa dewasa, tidak harus
menjadi kan kata “pencarian jati diri” sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang sekitarnya, karena
mungkin saja keadaan dan lingkungannya tidak mengerti, tidak mau tahu dan bahkan yang lebih parah berusaha untuk tidak mau tahu dengan keadaan anda yang menyebut dirinya dengan “seseorang yang sedang mencari jati diri” . Sekarang cobalah kita tanya pada diri sendiri, untuk apa pencarian jati diri itu dilakukan ? hanya untuk menunjukkan eksistensi kita, bahwa kita ini ada, kita ini seseorang, kita ini punya nilai, atau kita ini ingin dihargai dan dianggap sebagai manusia? Sekarang terlepas dari masalah pencarian jati diri, seharusnya yang kita lakukan adalah bertanya pada diri sendiri, apa yang telah kita lakukan, apakah kita
cukup bernilai, apakah kita ini seseorang yang bermanfaat buat orang lain, apakah kita ini cukup berharga untuk dihormati ? dan adakah sesuatu yang telah kita lakukan untuk membuat orang lain bahagia, orang lain merasa dihargai, orang lain merasa bermanfaat bagi anda dan juga merasa bahwa anda pantas untuk dicintai, disayangi dan dihargai. Sebetulnya saya pribadi menelaah “momok pencarian jati diri” ini hanya sebuah wujud nyata dari keegoisan manusia, yang biasanya muncul di usia remaja ke peralihan dewasa, karena ego pada masa itu lebih besar dibanding masa pra remaja dan anak-anak. Maka “pencarian Jati diri” dijadikan alasan untuk berusaha menekan orangorang disekitarnya lah yang berusaha memahami, mengalah, mengerti
keadaannya. Contoh dari teman, bahkan juga dari lingkungan menjadikan hal ini semakin memperkuat bagi mereka di masa ini untuk membentuk situasi pencarian jati diri dalam dirinya. Sekedar masukan, ini sebuah pengalaman pribadi, dan saya rasa tidak sedang berusaha menyinggung siapapun, manusia pada masa transisi ini seringkali menyepelekan orang-orang yang menyayanginya, tidak mau mengakui kesalahan diri sendiri tapi selalu mencari kesalahan orang lain, menganggap diri selalu benar, tidak punya hati, egois dan sering melukai perasaan orang yang menyayanginya. Selalu berharap orang lain mengerti dan bisa memahami sikapnya, tanpa mau tahu apakah hati orang itu terluka, yang penting, kitalah yang harus mengerti bahwa dia sedang melewati “Masa Pencarian Jati Diri”. Cobalah anak-anak yang sedang mengalami masa transisi, belajar merenungi apakah pantas “masa pencarian jati diri” dianggap sebuah momok untuk arena pembalasan dendam, ajang keegoisan dan wadah penyalur kebecian juga alat menyudutkan kesalahan orang. Jangan salah mengartikan “Pencarian jati diri” untuk hal yang ke arah negatif, tapi berusahalah agar masa pencarian jati diri ini tidak mengurangi kadar kebaikan kita tapi malah menambah. Jangan kebaikan yang sudah ada menjadi hilang karena masa pencarian jati diri ini, tapi justeru malah bertambah kebaikan, nilai-nilai, rasa hormat, rasa sayang, rasa cinta dan lebih sportif dalam mengakui kesalahan diri sendiri, dengan begitu masa pencarian jati diri kita tidak akan sia-sia, dan kata-kata “masa pencarian jati diri” tidak menjadi momok yang menakutkan bagi orang tua.

Sumber: http://psikologiuinjkt2004.wordpress.com

0 comments:

Friday, November 18, 2011

Psikologi Kejiwaan Anak

Psikologi Kejiwaan Anak pada Masa Transisi



Kajian pencarian jati diri bisa berdampak negatif dan juga positif, bagi diri sendiri, keluarga, teman, lingkungan dan juga perubahan sikap, sudut pandang dan gaya hidup. Seseorang tidak perlu menjadi
seseorang yang lain untuk mengubah jati diri dari keadaan semula menjadi keadaan kemudian, dalam hal ini seorang anak pada masa transisi, yaitu masa peralihan dari masa remaja menjadi masa dewasa, tidak harus
menjadi kan kata “pencarian jati diri” sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang sekitarnya, karena
mungkin saja keadaan dan lingkungannya tidak mengerti, tidak mau tahu dan bahkan yang lebih parah berusaha untuk tidak mau tahu dengan keadaan anda yang menyebut dirinya dengan “seseorang yang sedang mencari jati diri” . Sekarang cobalah kita tanya pada diri sendiri, untuk apa pencarian jati diri itu dilakukan ? hanya untuk menunjukkan eksistensi kita, bahwa kita ini ada, kita ini seseorang, kita ini punya nilai, atau kita ini ingin dihargai dan dianggap sebagai manusia? Sekarang terlepas dari masalah pencarian jati diri, seharusnya yang kita lakukan adalah bertanya pada diri sendiri, apa yang telah kita lakukan, apakah kita
cukup bernilai, apakah kita ini seseorang yang bermanfaat buat orang lain, apakah kita ini cukup berharga untuk dihormati ? dan adakah sesuatu yang telah kita lakukan untuk membuat orang lain bahagia, orang lain merasa dihargai, orang lain merasa bermanfaat bagi anda dan juga merasa bahwa anda pantas untuk dicintai, disayangi dan dihargai. Sebetulnya saya pribadi menelaah “momok pencarian jati diri” ini hanya sebuah wujud nyata dari keegoisan manusia, yang biasanya muncul di usia remaja ke peralihan dewasa, karena ego pada masa itu lebih besar dibanding masa pra remaja dan anak-anak. Maka “pencarian Jati diri” dijadikan alasan untuk berusaha menekan orangorang disekitarnya lah yang berusaha memahami, mengalah, mengerti
keadaannya. Contoh dari teman, bahkan juga dari lingkungan menjadikan hal ini semakin memperkuat bagi mereka di masa ini untuk membentuk situasi pencarian jati diri dalam dirinya. Sekedar masukan, ini sebuah pengalaman pribadi, dan saya rasa tidak sedang berusaha menyinggung siapapun, manusia pada masa transisi ini seringkali menyepelekan orang-orang yang menyayanginya, tidak mau mengakui kesalahan diri sendiri tapi selalu mencari kesalahan orang lain, menganggap diri selalu benar, tidak punya hati, egois dan sering melukai perasaan orang yang menyayanginya. Selalu berharap orang lain mengerti dan bisa memahami sikapnya, tanpa mau tahu apakah hati orang itu terluka, yang penting, kitalah yang harus mengerti bahwa dia sedang melewati “Masa Pencarian Jati Diri”. Cobalah anak-anak yang sedang mengalami masa transisi, belajar merenungi apakah pantas “masa pencarian jati diri” dianggap sebuah momok untuk arena pembalasan dendam, ajang keegoisan dan wadah penyalur kebecian juga alat menyudutkan kesalahan orang. Jangan salah mengartikan “Pencarian jati diri” untuk hal yang ke arah negatif, tapi berusahalah agar masa pencarian jati diri ini tidak mengurangi kadar kebaikan kita tapi malah menambah. Jangan kebaikan yang sudah ada menjadi hilang karena masa pencarian jati diri ini, tapi justeru malah bertambah kebaikan, nilai-nilai, rasa hormat, rasa sayang, rasa cinta dan lebih sportif dalam mengakui kesalahan diri sendiri, dengan begitu masa pencarian jati diri kita tidak akan sia-sia, dan kata-kata “masa pencarian jati diri” tidak menjadi momok yang menakutkan bagi orang tua.

Sumber: http://psikologiuinjkt2004.wordpress.com

No comments: