PERKAWINAN CAMPURAN

PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat.
Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.

Kecuali agama Islam, semua agama mensyaratkan peneguhan dan pemberkatan oleh pejabat sebagai syarat syahnya perkawinan menurut hukum agama. Sedangkan menurut agama Islam, pernikahan sudah dianggap sah bila sudah diucapkan ijab kabul oleh mempelai laki-laki di hadapan saksi-saksi dan pegawai pencatat nikah. Semua agama umumnya mempunyai hukum perkawinan yang tekstular.
Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat ternyata tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan duka.
Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut sebagai sebuah perkawinan.
Perkawinan (pernikahan) pada hakekatnya adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.
Untuk memberikan pengertian yang lebih jauh tentang perkawinan ini, disini penulis akan kemukakan beberapa pandangan atau pendapat baik menurut ketentuan hukum Islam maupun menurut ketentuan perundang-undangan. Adapun beberapa pengertian perkawinan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengertian perkawinan menurut ketentuan hukum Islam
Perkawinan atau istilah dalam agama Islam disebut dengan “Nikah”, menurut Ahmad Azhar Basyir MA, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Islam”, menyebutkan bahwa :
“Perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih saying dengan cara yang diridhoi Allah”.
Dari batasan tersebut di atas kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena dalam suatu perkawinan yang sah selanjutnya akan :
a. Menghalalkan hubungan atau pergaulan hidup manusia sebagai suami istri. Hal itu adalah sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang memiliki derajat dan kehormatan.
b. Melahirkan anak-anak (keturunan) yang sah sehat jasmani dan rohani demi kelangsungan hidup keluarga secara baik-baik dan terus menerus.
c. Terbentuknya hubungan rumah tangga yang tentram dan damai dalam suatu rumah tangga yang tentram dan damai diliputi rasa kasih sayang selanjutnya akan menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur.
d. Perkawinan dalam agama Islam adalah merupakan suatu bentuk perbuatan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi perbuatan maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki sebuah perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa, karena dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.
Dinyatakan dalam hadits riwayat Abdullah Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda :
“Wahai kaum muda, barang siapa diantara kalian mampu menyiapkan bekal, nikahlah. Karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barang siapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng (Muttafaq ‘alaih).”
Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau.
Hadits riwayat dari Annas Ibnu Malik, bahwa Nabi Muhammad SAW memuji Allah dan Anas melihatnya dan beliau bersabda :
“Akan tetapi aku shalat, tidur, puasa, berbuka, dan aku menikahi perempuan. Maka barang siapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaq’alaih)
Karena itulah perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syariat dan rukun perkawinan menurut Islam, dijelaskan sebagai berikut. Syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti dikemukakan oleh Kholil Rahman.
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya :
1. Laki-laki
2. Beragama Islam
3. Jelas orangnya
4. Dapat memberikan persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya :
1. Perempuan
2. Beragama, meskipun Yahudi atau nasrani
3. Jelas orangnya
4. Dapat dimintai persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya :
1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwalian.
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya :
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya :
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya penerimaan dari calon mempelai
3. Memakai kata-kata nikah
4. Antara Ijab dan qabul jelas maksudnya
5. Antara ijab dan qabul bersambungan (satu nafas)
6. Orang yang berkaitan dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah
7. Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.
Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut harus dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak akan sah. Disebutkan dalam kitab Al-Fiqh’ ala Al-Mazahib Al-Arabaah :
“Nikah Fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukun-rukunnya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama, yaitu tidak sah”.
Demikian pentingnya suatu perkawinan bagi orang Islam. Dengan demikian menurut hukum Islam ada macam-macam hokum perkawinan, yaitu :
a. Wajib, Yaitu bagi orang yang dilihat dari segi biaya hidup telah mencukupi dan dari segi jasmaniah telah mendesak sehingga apabila ia tidak segera kawin akan terjerumus dalam melakukan perbuatan dosa.
b. Sunnah, Yaitu bagi orang yang terlihat dari segi jasmani maupun biaya telah memungkinkan untuk melakukan perkawinan.
c. Makruh, Yaitu bagi orang yang dilihat dari segi jasmani sudah wajar, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya untuk kawin belum ada.
d. Haram, Yaitu apabila seorang yang mengawini orang lain hanya untuk memperoleh penghinaan atau menganiaya saja.
2. Pengertian perkawinan menurut ketentuan perundang-undangan.
Pengertian perkawinan menurut ketentuan perundang-undangan dapat kita kemukakan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 dan pasal 2 ayat 1, dimana dalam ketentuan pasal 1 menyebutkan :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seoirang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Demikian pula pasal 2 ayat 1 nya menyebutkan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari ketentuan kedua pasal tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana pada sila pertamanya adalah ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaannya sehingga dengan demikian perkawinan bukan saja mempunyai hubungan dengan unsure lahir (jasmani), tetapi unsure batin juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan tumbuhnya keturunan tersebut. Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melakukan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan hukum perkawinan Islam.
Demikian juga bagi warga negara Indonesia yang lain yang beragama selain Islam (Nasrani, Hindu, Budha), maka hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan menentukan sahnya perkawinan.
Dari uraian tersebut dia atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian perkawinan baik menurut hukum Islam ataupun menurut ketentuan perundang-undangan tidak ada perbedaan yang prinsipil, dimana pada intinya semua menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan telah memenuhi ketentuan hukumnya.
B. Perkawinan Campuran
Dari uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa keadaan hukum perkawinan di Indonesia adalah bercorak ragam sifatnya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya.
Keadaan ini telah menimbulkan persoalan hukum antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum perkawinan yang manakah yang akan diberlakukan terhadap suatu perkawinan antara dua orang yang berbeda golongan penduduk dan hukumnya.
Dengan maksud memecahkan persoalan itulah kemungkinan pemerintah Hindia Belanda dahulu dengan penetapan raja tanggal 29 Desember 1896 No. 23 (Stb. 1898 No. 158) telah mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran (Religion op de Gemengde Huwelijken) yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian telah dirubah dan ditambah yang dimuat dalam beberapa staatblads (Lembaran Negara Hindia Belanda).
Pasal 1 dari Religion op de Gemengde Huwelijken (GHR) itu menyatakan bahwa yang dinamakan Perkawinan campuran ialah “Perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”.
Menurut pendapat kebanyakan ahli hukum dan yurispudensi yang dimaksudkan diatur selaku “Perkawinan campuran” itu ialah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing pada umumnya takluk pada hukum yang berlainan.
Dalam menentukan hukum mana yang berlaku bagi orang-orang yang melakukan perkawinan campuran, GHR selanjutnya menyatakan bahwa dalam hal seorang perempuan melakukan perkawinan campuran, maka ia selama pernikahan itu belum putus, tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya baik di lapangan hukum publik maupun hukum sipil (pasal 2). Dengan kata lain perempuan yang melakukan perkawinan campuran berubah statusnya menjadi mengikuti status pihak suaminya. Jadi ada penggantian hukum, dari hukumnya sendiri menjadi tunduk kepada hukum sang suami dengan melakukan pemilihan hukum.
Mengenai pemilihan hukum disini, Prof. Mr. DR. S. Gautama (Gouw Giok Siong) mengatakan bahwa walaupun anasir memilih hukum tak demikian kentara, tetapi anasir memilih ini dapat dikatakan nampak pula, karena adanya syarat “toestemmino” (persetujuan) dari pihak perempuan yang sellau disyaratkan sebelum dapat dilangsungkan suatu perkawinan campuran.
Pihak perempuan dapat dikatakan mengetahui apa yang hendak diperbuatnya dengan segala akibat-akibat yang dikehendakinya juga.
Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah bahwa dalam perkawinan campuran ini, sebagaimana dikatakan oleh pasal 7 ayat (2), perbedaan agama, bangsa atau asal, sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan.
Setelah berlakunya undang-unadang perkawinan No. 1 tahun 1974, telah terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Walaupun demikian, pembuat undang-undang tidak menutup kemungkinan terjadinya perkawinan campuran di kalangan penduduk negara Indonesia dan karenanya masalah perkawinan campuran ini tetap masih dapat kita jumpai pengaturannya dalam undang-undang tersebut, yaitu sebagaimana yang diatur dalam bagian ketiga dari bab XII, ketentuan-ketentuan lain.
Bagian ketiga dari bab XIII UU No. 1 Tahun 1974, terdiri dari 6 pasal, yaitu dimulai dari pasal 57 sampai dengan pasal 62. Pasal 57 memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut undang-undang tersebut.
Pasal 57 :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dari perumusan pasal 57 di atas, kita melihat bahwa UU No. 1 tahun 1974 telah memperjelas pengertian perkawinan campuran dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang warga negara Republik Indonesia dengan warga negara asing.
Dengan demikian perkawinan antar sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan tidak termasuk ke dalam rumusan pasal 57 itu. Hal demikian itu adalah sejalan dengan pandangan pemerintah Indonesia yang hanya mengenal pembagian penduduk atau warga negara dengan bukan warga negara dan sejalan juga dengan cita-cita unifikasi hukum yang dituangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.
Hal pertama yang perlu mendapat perhatian ialah bahwa rumusan perkawinanmenurut undang-undang ini membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara Asing.
Sedangkan perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antara agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
C. Pandangan Islam Tentang Perkawinan campuran
Pernikahan adalah satu ikatan yang sangat dalam dan kuat mengh8ubungkan antara dua anak manusia. Ikatan ini meliputi saling memenuhi hak dan kewajiban antara kedua insan itu. Karenanya, harus ada kesatuan dan pertemuan antara dua hati di dalam satu simbol yang tidak akan mudah lepas terurai.
Untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuai terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi kehidupan perkawinan. Akidah agama adalah sesuatu yang sangat dalam dan universal dalam memenuhi kebutuhan manusia secara hakiki, mempengaruhi dan mengarahkan perasaannya, membentuk tabiat emosi dan menentukan jalan kehidupan baginya.
Sekalipun demikian banyak orang yang telah tertipu oleh keyakinan semu atau keterbatasan pemahaman tentang akidah, sehingga mereka beranggapan bahwa akidah hanyalah perasaan selintas yang mungkin bisa ditukar dengan falsafah pemikiran atau teori-teori social.
Anggapan seperti itu menunjukkan minimnya pengetahuan dan hakikat jiwa manusia dan unsure-unsur yang essensial . dampak negatif dari hal tersebut adalah perkawinan campuran yang terjadi di kalangan masyarakat.
Pengertian perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu (bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti, berkumpulnya sesuatu yang tidak asama atau seragam antara lain dalam bidang agam atau keagamaan. Jadi perkawinan campuran itu adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.
Dari penjelasan di atas tentulah kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk membentuk suatu ikatan yang mendalami akan hakikat suatu pernikahan haruslah ada kesatuan dan pertemuan yang sama di dalam 2 (dua) hati anak manusia tersebut. Dalam Islam, akidah agamalah yang dapat dijadikan pedoman yang kuat.
Kaum muslim, diawal pertumbuhannya di Mekkah, tidak diperkenankan untuk mengawini musyrikah sebagaimana firman Allah :
ولاتنكحواالمشركت حتي يوء من
“Janganlah kamu sekalian (kaum muslimin) menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah : 221)
Ayat itu diturunkan untuk melarang ataupun mencegah adanya pernikahan baru dalam bentuk apapun, antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Adapun perkawinan yang telah terjadi sebelum masa itu, maka masih tetap sah (tidak bercerai antara suami isteri yang berlainan agama).
Pada tahun ke-VI Hijriyah, yaitu ketika ayat 10 QS. Al-Mumtahanah diturunkan di Hudaibiyah :
ياايهاالذ ين امنوااذاجاءكمالمومنت مهجرت فامتحنوهناالله اعلم باءيمان نهن فان علمتموهن مومنت فلا ترجعوهن الى الكفارلاهن حل لهمولاهم يحلون لهن
“ Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu wanita-wanita beriman untuk berhijrah, maka ujilah mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Lalu apabila kamu mengetahui mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Wanita-wanita itu tidak halal bagi mereka, dan merekapun tidak halal bagi wanita-wanita itu, dan berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka nafkahkan (buat wanita-wanita itu). Dan janganlah kamu berpedang dengan akad nikah wanita-wanita kafir……”.
Dengan turunnya ayat tersebut di atas, berakhirlah segala bentuk ikatan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir. Selanjutnya diharamkan ikatan pernikahan antara dua insan yang berlainan akidah, karena hal itu pada qalibnya adalah suatu ikatan yang palsu dan rapuh sebab keduanya tidak bertemu di dalam garis lurus di atas manhaj (jalan, system)-Nya dalam mengatur kehidupan yang suci dan bersih.
D. Syarat-syarat Perkawinan Campuran
Masing-masing pihak harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak.
Pejabat yang berwenang mencatat perkawinan bagi masing-masing pihak, memberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat yang ditentukan telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan berhalangan menolak memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan dapat meminta keputusan pengganti keterangan dari pengadilan.
Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak berlaku lagi jika perkawinan tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah surat keterangan itu diberikan.

0 comments:

Friday, November 18, 2011

PERKAWINAN CAMPURAN

PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat.
Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.

Kecuali agama Islam, semua agama mensyaratkan peneguhan dan pemberkatan oleh pejabat sebagai syarat syahnya perkawinan menurut hukum agama. Sedangkan menurut agama Islam, pernikahan sudah dianggap sah bila sudah diucapkan ijab kabul oleh mempelai laki-laki di hadapan saksi-saksi dan pegawai pencatat nikah. Semua agama umumnya mempunyai hukum perkawinan yang tekstular.
Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat ternyata tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan duka.
Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut sebagai sebuah perkawinan.
Perkawinan (pernikahan) pada hakekatnya adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.
Untuk memberikan pengertian yang lebih jauh tentang perkawinan ini, disini penulis akan kemukakan beberapa pandangan atau pendapat baik menurut ketentuan hukum Islam maupun menurut ketentuan perundang-undangan. Adapun beberapa pengertian perkawinan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengertian perkawinan menurut ketentuan hukum Islam
Perkawinan atau istilah dalam agama Islam disebut dengan “Nikah”, menurut Ahmad Azhar Basyir MA, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Islam”, menyebutkan bahwa :
“Perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih saying dengan cara yang diridhoi Allah”.
Dari batasan tersebut di atas kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena dalam suatu perkawinan yang sah selanjutnya akan :
a. Menghalalkan hubungan atau pergaulan hidup manusia sebagai suami istri. Hal itu adalah sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang memiliki derajat dan kehormatan.
b. Melahirkan anak-anak (keturunan) yang sah sehat jasmani dan rohani demi kelangsungan hidup keluarga secara baik-baik dan terus menerus.
c. Terbentuknya hubungan rumah tangga yang tentram dan damai dalam suatu rumah tangga yang tentram dan damai diliputi rasa kasih sayang selanjutnya akan menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur.
d. Perkawinan dalam agama Islam adalah merupakan suatu bentuk perbuatan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi perbuatan maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki sebuah perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa, karena dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.
Dinyatakan dalam hadits riwayat Abdullah Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda :
“Wahai kaum muda, barang siapa diantara kalian mampu menyiapkan bekal, nikahlah. Karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barang siapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng (Muttafaq ‘alaih).”
Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau.
Hadits riwayat dari Annas Ibnu Malik, bahwa Nabi Muhammad SAW memuji Allah dan Anas melihatnya dan beliau bersabda :
“Akan tetapi aku shalat, tidur, puasa, berbuka, dan aku menikahi perempuan. Maka barang siapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaq’alaih)
Karena itulah perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syariat dan rukun perkawinan menurut Islam, dijelaskan sebagai berikut. Syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti dikemukakan oleh Kholil Rahman.
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya :
1. Laki-laki
2. Beragama Islam
3. Jelas orangnya
4. Dapat memberikan persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya :
1. Perempuan
2. Beragama, meskipun Yahudi atau nasrani
3. Jelas orangnya
4. Dapat dimintai persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya :
1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwalian.
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya :
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya :
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya penerimaan dari calon mempelai
3. Memakai kata-kata nikah
4. Antara Ijab dan qabul jelas maksudnya
5. Antara ijab dan qabul bersambungan (satu nafas)
6. Orang yang berkaitan dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah
7. Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.
Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut harus dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak akan sah. Disebutkan dalam kitab Al-Fiqh’ ala Al-Mazahib Al-Arabaah :
“Nikah Fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukun-rukunnya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama, yaitu tidak sah”.
Demikian pentingnya suatu perkawinan bagi orang Islam. Dengan demikian menurut hukum Islam ada macam-macam hokum perkawinan, yaitu :
a. Wajib, Yaitu bagi orang yang dilihat dari segi biaya hidup telah mencukupi dan dari segi jasmaniah telah mendesak sehingga apabila ia tidak segera kawin akan terjerumus dalam melakukan perbuatan dosa.
b. Sunnah, Yaitu bagi orang yang terlihat dari segi jasmani maupun biaya telah memungkinkan untuk melakukan perkawinan.
c. Makruh, Yaitu bagi orang yang dilihat dari segi jasmani sudah wajar, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya untuk kawin belum ada.
d. Haram, Yaitu apabila seorang yang mengawini orang lain hanya untuk memperoleh penghinaan atau menganiaya saja.
2. Pengertian perkawinan menurut ketentuan perundang-undangan.
Pengertian perkawinan menurut ketentuan perundang-undangan dapat kita kemukakan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 dan pasal 2 ayat 1, dimana dalam ketentuan pasal 1 menyebutkan :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seoirang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Demikian pula pasal 2 ayat 1 nya menyebutkan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari ketentuan kedua pasal tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana pada sila pertamanya adalah ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaannya sehingga dengan demikian perkawinan bukan saja mempunyai hubungan dengan unsure lahir (jasmani), tetapi unsure batin juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan tumbuhnya keturunan tersebut. Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melakukan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan hukum perkawinan Islam.
Demikian juga bagi warga negara Indonesia yang lain yang beragama selain Islam (Nasrani, Hindu, Budha), maka hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan menentukan sahnya perkawinan.
Dari uraian tersebut dia atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian perkawinan baik menurut hukum Islam ataupun menurut ketentuan perundang-undangan tidak ada perbedaan yang prinsipil, dimana pada intinya semua menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan telah memenuhi ketentuan hukumnya.
B. Perkawinan Campuran
Dari uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa keadaan hukum perkawinan di Indonesia adalah bercorak ragam sifatnya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya.
Keadaan ini telah menimbulkan persoalan hukum antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum perkawinan yang manakah yang akan diberlakukan terhadap suatu perkawinan antara dua orang yang berbeda golongan penduduk dan hukumnya.
Dengan maksud memecahkan persoalan itulah kemungkinan pemerintah Hindia Belanda dahulu dengan penetapan raja tanggal 29 Desember 1896 No. 23 (Stb. 1898 No. 158) telah mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran (Religion op de Gemengde Huwelijken) yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian telah dirubah dan ditambah yang dimuat dalam beberapa staatblads (Lembaran Negara Hindia Belanda).
Pasal 1 dari Religion op de Gemengde Huwelijken (GHR) itu menyatakan bahwa yang dinamakan Perkawinan campuran ialah “Perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”.
Menurut pendapat kebanyakan ahli hukum dan yurispudensi yang dimaksudkan diatur selaku “Perkawinan campuran” itu ialah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing pada umumnya takluk pada hukum yang berlainan.
Dalam menentukan hukum mana yang berlaku bagi orang-orang yang melakukan perkawinan campuran, GHR selanjutnya menyatakan bahwa dalam hal seorang perempuan melakukan perkawinan campuran, maka ia selama pernikahan itu belum putus, tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya baik di lapangan hukum publik maupun hukum sipil (pasal 2). Dengan kata lain perempuan yang melakukan perkawinan campuran berubah statusnya menjadi mengikuti status pihak suaminya. Jadi ada penggantian hukum, dari hukumnya sendiri menjadi tunduk kepada hukum sang suami dengan melakukan pemilihan hukum.
Mengenai pemilihan hukum disini, Prof. Mr. DR. S. Gautama (Gouw Giok Siong) mengatakan bahwa walaupun anasir memilih hukum tak demikian kentara, tetapi anasir memilih ini dapat dikatakan nampak pula, karena adanya syarat “toestemmino” (persetujuan) dari pihak perempuan yang sellau disyaratkan sebelum dapat dilangsungkan suatu perkawinan campuran.
Pihak perempuan dapat dikatakan mengetahui apa yang hendak diperbuatnya dengan segala akibat-akibat yang dikehendakinya juga.
Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah bahwa dalam perkawinan campuran ini, sebagaimana dikatakan oleh pasal 7 ayat (2), perbedaan agama, bangsa atau asal, sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan.
Setelah berlakunya undang-unadang perkawinan No. 1 tahun 1974, telah terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Walaupun demikian, pembuat undang-undang tidak menutup kemungkinan terjadinya perkawinan campuran di kalangan penduduk negara Indonesia dan karenanya masalah perkawinan campuran ini tetap masih dapat kita jumpai pengaturannya dalam undang-undang tersebut, yaitu sebagaimana yang diatur dalam bagian ketiga dari bab XII, ketentuan-ketentuan lain.
Bagian ketiga dari bab XIII UU No. 1 Tahun 1974, terdiri dari 6 pasal, yaitu dimulai dari pasal 57 sampai dengan pasal 62. Pasal 57 memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut undang-undang tersebut.
Pasal 57 :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dari perumusan pasal 57 di atas, kita melihat bahwa UU No. 1 tahun 1974 telah memperjelas pengertian perkawinan campuran dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang warga negara Republik Indonesia dengan warga negara asing.
Dengan demikian perkawinan antar sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan tidak termasuk ke dalam rumusan pasal 57 itu. Hal demikian itu adalah sejalan dengan pandangan pemerintah Indonesia yang hanya mengenal pembagian penduduk atau warga negara dengan bukan warga negara dan sejalan juga dengan cita-cita unifikasi hukum yang dituangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.
Hal pertama yang perlu mendapat perhatian ialah bahwa rumusan perkawinanmenurut undang-undang ini membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara Asing.
Sedangkan perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antara agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
C. Pandangan Islam Tentang Perkawinan campuran
Pernikahan adalah satu ikatan yang sangat dalam dan kuat mengh8ubungkan antara dua anak manusia. Ikatan ini meliputi saling memenuhi hak dan kewajiban antara kedua insan itu. Karenanya, harus ada kesatuan dan pertemuan antara dua hati di dalam satu simbol yang tidak akan mudah lepas terurai.
Untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuai terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi kehidupan perkawinan. Akidah agama adalah sesuatu yang sangat dalam dan universal dalam memenuhi kebutuhan manusia secara hakiki, mempengaruhi dan mengarahkan perasaannya, membentuk tabiat emosi dan menentukan jalan kehidupan baginya.
Sekalipun demikian banyak orang yang telah tertipu oleh keyakinan semu atau keterbatasan pemahaman tentang akidah, sehingga mereka beranggapan bahwa akidah hanyalah perasaan selintas yang mungkin bisa ditukar dengan falsafah pemikiran atau teori-teori social.
Anggapan seperti itu menunjukkan minimnya pengetahuan dan hakikat jiwa manusia dan unsure-unsur yang essensial . dampak negatif dari hal tersebut adalah perkawinan campuran yang terjadi di kalangan masyarakat.
Pengertian perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu (bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti, berkumpulnya sesuatu yang tidak asama atau seragam antara lain dalam bidang agam atau keagamaan. Jadi perkawinan campuran itu adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.
Dari penjelasan di atas tentulah kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk membentuk suatu ikatan yang mendalami akan hakikat suatu pernikahan haruslah ada kesatuan dan pertemuan yang sama di dalam 2 (dua) hati anak manusia tersebut. Dalam Islam, akidah agamalah yang dapat dijadikan pedoman yang kuat.
Kaum muslim, diawal pertumbuhannya di Mekkah, tidak diperkenankan untuk mengawini musyrikah sebagaimana firman Allah :
ولاتنكحواالمشركت حتي يوء من
“Janganlah kamu sekalian (kaum muslimin) menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah : 221)
Ayat itu diturunkan untuk melarang ataupun mencegah adanya pernikahan baru dalam bentuk apapun, antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Adapun perkawinan yang telah terjadi sebelum masa itu, maka masih tetap sah (tidak bercerai antara suami isteri yang berlainan agama).
Pada tahun ke-VI Hijriyah, yaitu ketika ayat 10 QS. Al-Mumtahanah diturunkan di Hudaibiyah :
ياايهاالذ ين امنوااذاجاءكمالمومنت مهجرت فامتحنوهناالله اعلم باءيمان نهن فان علمتموهن مومنت فلا ترجعوهن الى الكفارلاهن حل لهمولاهم يحلون لهن
“ Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu wanita-wanita beriman untuk berhijrah, maka ujilah mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Lalu apabila kamu mengetahui mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Wanita-wanita itu tidak halal bagi mereka, dan merekapun tidak halal bagi wanita-wanita itu, dan berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka nafkahkan (buat wanita-wanita itu). Dan janganlah kamu berpedang dengan akad nikah wanita-wanita kafir……”.
Dengan turunnya ayat tersebut di atas, berakhirlah segala bentuk ikatan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir. Selanjutnya diharamkan ikatan pernikahan antara dua insan yang berlainan akidah, karena hal itu pada qalibnya adalah suatu ikatan yang palsu dan rapuh sebab keduanya tidak bertemu di dalam garis lurus di atas manhaj (jalan, system)-Nya dalam mengatur kehidupan yang suci dan bersih.
D. Syarat-syarat Perkawinan Campuran
Masing-masing pihak harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak.
Pejabat yang berwenang mencatat perkawinan bagi masing-masing pihak, memberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat yang ditentukan telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan berhalangan menolak memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan dapat meminta keputusan pengganti keterangan dari pengadilan.
Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak berlaku lagi jika perkawinan tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah surat keterangan itu diberikan.

No comments: