Memahami Kejiwaan Anak Korban Reportase Media
Massa
Marilah sedikit mencoba berandai-andai. Saya atau
pembaca menjadi korban pembunuhan berencana yang sadis seperti halnya almarhum
Nasrudin Zulkarnaen yang kini gencar diwartakan media massa, dan
menyeret-nyeret Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Antasari Azhar dalam kasus ini. Di keluarga, kita menjadi kepala keluarga
sekaligus tulangpunggung ekonomi. Disisi yang lain sekaligus menjadi panutan
bagi istri dan anak-anak di rumah. Pada titik ini saja, keluarga yang
ditinggalkan itu sudah
menanggung beban berat penderitaan. Bagi sebagian orang,
kehilangan orang yang tercinta seperti narasi di atas, bisa pula berarti
kehilangan segalanya.
Kini setelah kasus pembunuhan itu “samar-samar”
terungkap, dengan lakon perselingkuhan, maka bertambah lagi beban derita yang
harus dipikul keluarga yang telah ditinggalkan. Saya katakan “samar-samar”,
masalahnya tidak sepele itu motif pembunuhan sekonyong-konyong terungkap
gamblang. Di balik urusan “perselingkuhan”, saya rasa ada motif dan skenario
lain yang lebih besar ketimbang apa yang kini muncul di permukaan.
Dalam postingan ini saya tidak mau terjebak dan
larut oleh hingar-bingar pemberitaan arus utama media masssa saat ini dalam
mewartakan kasus dimaksud. Saya hanya ingin mengetuk nurani kalangan media
massa, siapa yang peduli dan empati pada keluarga korban utamanya anak-anak
dalam gencarnya pemberitaan soal perselingkuhan tersebut?
Membunuh Masa Depan Anak?
Media massa dalam hal ini media elektronika yang
bertubi-tubi menayangkan gambar soal perempuan lain dalam kasus
Nasrudin-Antasari ke ruang-ruang publik, semestinya ikut bertanggungjawab
terhadap trauma kejiwaan anak yang orang tuanya menjadi bulan-bulanan reportase
mereka? Demi untuk memuaskan hasrat dan keingintahuan publik atas kasus
tersebut, media massa sesungguhnya telah “membunuh” secara perlahan masa depan
anak yang orang tuanya tersandung kasus semacam itu.
Kita sebagai pembaca media massa di pinggiran
arena, menyaksikan reportase gencar itu mengelus dada sembari bertanya lirih:
asas praduga tak bersalah yang menjadi ruh media massa dalam pemberitaan kasus
kriminal lambat laun mulai terkikis dan luntur. Batas-batasnya tipis, dan pihak
media massa tetap lantang mengatakan komit pada spirit asas praduga tak
bersalah itu.
Sekalipun pintu informasi telah terbuka lebar, dan
media massa dapat mewartakan suatu peristiwa sebebas-bebasnya, saya rasa tetap
harus ada rambu pengingat akan batasan-batasan mana yang layak atau tidak layak
diwartakan. Dalam konteks ini, media massa juga harus memahami kejiwaan anak
atau keluarga korban dari reportase yang dihasilkannya. Tidak semata-mata
tunduk pada hasrat dan keinginan mayoritas publik akan informasi “menyangkut
moral”, yang di satu sisi memuaskan publik sementara di sisi lain melempar ke
jurang kehancuran akan masa depan anak atau keluarga yang menjadi obyek
pemberitaannya.
Perasaan malu, rendah diri dan menarik dari
pergaulan sosial barangkali beberapa poin yang mengendap bagi anak atau kelurga
korban dari gencarnya reportase soal-soal moral seperti kasus perselingkuhan di
atas. Bagi anak, turunannya bisa dalam bentuk hilangnya semangat belajar,
semangat berprestasi, dan semangat untuk menatap kehidupan yang lebih baik dari
yang pernah dialaminya. Memulihkan trauma semacam itu tidaklah mudah. Pada
konteks inilah perlunya media massa ikut menyelami kondisi-kondisi kejiwaan
korban sebelum mewartakan suatu peristiwa.
Jika saja saya atau pembaca yang menjadi obyek
pemberitaan seperti itu, bagaimana perasaannya?
DWIKI SETIYAWAN, anggota komunitas
Kompasiana.
https://dwikisetiyawan.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment