Nasr Hamid Abu Zayd


Sejarah Kehidupan Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu tokoh pemikir Islam modern yang banyak menelorkan pemikiran-pemikiran baru. Tokoh ini berasal dari Mesir disaat negara Mesir baru membentuk diri. Latarbelakang kehidupannya dapat menjadi referensi yang baik untuk menelaah pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Pembaca yang budiman, berikut adalah sejarah kehidupan Nasr Hamid Abu Zayd, dan semoga dapat menjadi sumbangan referensi untuk menelaah pemikiran Islam.


Nasr Hamid Abu Zayd lahir di desa Qahafah, dekat kota Tanta, Mesir[1], pada tanggal 10 juli 1943, dari latar belakang keluarga yang sangat religius. Masih dalam usia kanak-kanak, yaitu ketika berumur 8 tahun, ia telah berhasil menghafalkan Qur’an hingga khatam. Seperti anak-anak seusia di desa kelahiranya, selain mengikuti pendidikan formal di sekolah negeri setempat, Abu Zayd juga mengikuti pendidikan agama secara non-formal di Kuttab atau lembaga pendidikan tradisional yang ada di daerahnya. Di kuttab itulah ia belajar membaca, menulis dan juga menghafal Qur’an, disamping menerima pelajaran-pelajaran keagamaan tradisional yang lain.
Masa kanak-kanak Nasr Hamid Abu Zayd adalah masa-masa panas dan menegangkan dalam sejarah Mesir, tetapi juga umumnya sejarah negara-negara yang disebut dunia ketiga. Setelah terlepas secara formal dari jajahan pemerintahan kolonial, negara-negara ini segera dihadapkan pada upaya pemerintahan sendiri dan penentuan format kenegaraan yang hendak diwujudkan. Pada saat itulah muncul berbagai macam ideology dan pemikiran yang saling berkompetisi, baik yang bercorak keagamaan maupun yang sekuler. Tetapi yang dominan kala itu adalah ideology nasionalisme Arab yang bercorak sekuler yang merupakan ideology resmi regime Gamal Abdul Nasser yang berkuasa.
Sebagai tandingan dari ideology negara ini adalah gerakan kalangan islamis yang terhimpun dalam Ikhwanul Muslimin. Mereka ini berjuang untuk mewujudkan suatu system pemerintahan yang biasa memenuhi standart pemerintahan yang islami seperti yang mereka bayangkan, baik dalam bentuk maupun cita-cita ideologisnya. Pada masa-masa inilah Sayyid Qutb mencuat dengan gagasan tentang Keadilan Social Menurut Islam, suatu tema yang tentunya tidak lepas dari bayang-bayang ideology social yang menguasai kebanyakan dunia ketiga saat itu. Ia misalnya, menulis sebuah buku yang berjudul “ Islam Dan Keadilan Social”. Nasr Hamid Abu Zayd sendiri juga tidak terlepas dari arus deras ini. Ketika Ikhwan Al Muslimin kian menguat dan memiliki banyak cabang di seantero pelosok mesir, Nasr Hamid Abu Zayd kecilpun turut pula bergabung dalam gerakan Ikhwan Al Muslimin yang ada di desanya. Bahkan dalam usianya yang mesih belia itu (12 tahun) ia telah merasakan tahanan penjara ketika pihak keamanan melakukan serangkaian penangkapan terhadap para aktivis Ikhwan.
Abu Zayd menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Tanta. Ketika ia baru berumur 14 tahun ayahnya meninggal dunia sehingga, sambil bersekolah, ia juga harus bekerja untuk menopang kebutuhan keluarganya. Pada tahun 1960 Abu Zayd berhasil menyelesaikan studynya disekolah tekhnik di kota kelahiranya. Setelah itu selama 12 tahun (sampai 1927) ia bekerja sebagai tekhnisi dilembaga komunikasi nasional. Pada periode inilah Abu Zayd mulai tertarik dengan gerakan sosialisme dan revolusi yng merupakan trand yang dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Tulisan ilmiah pertamanya yang diterbitkan dalam Al Adab (oktober 1964) bahkan mengulas tentang kesusastraan dikalangan para buruh dan petani yang ia tulis ketika baru berumur 21 tahun. Pada saat itu Nasr Hamid Abu Zayd juga menunjukan sikap kritisnya terhadap gerakan Ikhwan Al Muslimin, meski belum ia tunjukan dalam tulisan-tulisanya.
Pada tahun 1968 sembari tetap berkerja dilembaga komunikasi tersebut, Abu Zayd memulai studynya di jurusan bahasa dan sastra arab Universitas Kairo. Studinya ini berhasil ia selesaikan pada tahun 1972 dengan memperoleh penghargaan tertinggi. Karena prestasinya yang menonjol ini pada tahun itu juga ia diangkat sebagai asisten dosen di almamaternya. Semula, sesuai dengan minatnya dari awal, Nasr Hamid Abu Zayd ingin menekuni bidang kritik sastra dan bukanya studi islam tetapi pihak jurusan bahasa dan sastra arab mewajibkan setiap tenaga pengajar yang baru bergabung untuk mengambil spesialisasi di bidang studi Qur’an dan hadits. Inilah yang membuat Abu Zayd mengubah focus kajianya dari bidang linguistik dan kritik sastra murni menjadi menekuni studi Qur’an, meskipun ia sendiri sangat enggan melakukanya. Abu Zayd akhirnya bersedia mengambil spesialisasi Studi Qur’an ini tapi ia terlebih dahulu mengajukan syarat agar diberi kebebasan untuk memilih pembimbing untuk studi selanjutnya. Abu Zayd kemudian memilih prof. Abd Al Aziz Al Akhwani. Seperti diakui Abu Zayd, inilah awal perkenalanya secara ilmiah dengan tradisi keagamaan arab.
Tesis Abu Zayd menela’ah tentang konsep metafor yang terdapat dalam ilmu retorika arab (Balaghoh) menurut aliran teologi rasional Mu’tazilah. Setelah selama empat tahun menganalisis dan membandingkan wacana golongan Mu’tazilah dan para penentangnya, Abu Zayd sampai pada kesimpulan bahwa penafsiran teks agama dalam Qur’an telah menjadi bagian yang integral dari kerangka kognitif dalam kesadaran arab islam. Setiap konsep intelektual yang dicetuskan berusaha didapatkan legitimasi dan pembenaranya dari Qur’an. Akibatnya, penafsiran telah menjadi salah satu perangkat yang digunakan dalam pertarungan intelektual, social dan politik. penelitian desertasi Abu Zayd tentang hermeneutika mistis Muhyidin Ibnu Al Araby juga mendapat hal yang sama dan bahwa semua penafsiran teks agama ternyata dipengaruhi oleh factor-faktor sosio politis dan cultural semasanya.

Lebih jauh, Abu Zayd bahkan juga mendapati bahwa hal yang sama terdapat pula pada fenomena social-politik di mesir kontemporer. Ketika itu Anwar Sadat baru saja menggantikan Gamal Abdul Nasser. Seiring dengan perubahan tendensi perubahan politik dari regime yang baru ini dari ideology sosialis ke retorika islam, maka muncul pula corak islam yang berbeda dalam kontes perpolitikan mesir. Jika sebelumnya islam lebih di gambarkan sebagai agama keadilan social sejalan dengan ideology sosialisme Nasseris, maka dengan kebijakan ekonomi pintu terbuka (Infitah) pada era Saddat ini gambaran tentang islam juga turut berubah sebagai agama yang melindungi hak kepemilikan pribadi. Jika sebelumnya untuk menghadapi agresi Israel islam cenderung digambarkan sebagai agama jihad, maka kini islam digambarkan sebagai agama perdamaian karena sadat justru menjalin perdamaian dengan Israel.
Semenjak masa Sadat ini pula gerakan islam memperoleh tempat kembali ditengah arena perpolitikan mesir dan dengan demikian kian mengintensifkan penggunaan jargon-jargon agama dalam menyingkapi berbagai isu social-politik. Saddat dengan sadar rupanya memanfaatkan sentimen agama ini untuk menghadapi lawan-lawan politiknya, yaitu kelompok Nasseris dan kalangan liberalis lainya disatu sisi, dan berbagai gerakan radikal islam disisi yang berbeda. Dampak kebijakan ini pada wacana islam adalah maraknya tema-tama “legitimasi” dalam pemikiran keagamaan dan politik islam, baik yang ditujukan untuk mendukung maupun menentang regime penguasa. Sementara tema-tema yang bersifat reflektif dan permenungan sama sekali absen dalam wacana itu. Dalam situasi semacam ini, maka islam dan teks-teks islam sebenarnya telah menjadi ruang kontestasi ideology dari berbagai subjek kepentingan, baik individu kelompok maupun kelas. Pada dasarnya, agama dan teks-teksnya bersifat netral, dalam artian merupakan teks yang terbuka untuk berbagai aktualisasi makna. Tetapi kontekstulisasi dikancah pertarungan ideiologis yang spesifik sudah barang tentu sangat ditentukan oleh pretensi dan kecendrungan pembacanya.
Menurut Abu Zayd fenomena demikian meng-isyaratkan bahwa teka agama yang berasal dari masa lampau telah dan terus menerus diinterpretasikan mengikuti keprihatinan dan tekanan yang dihadapi pembacanya pada masa kini. Disinilah Abu Zayd mulai khawatir mengenai apakah teks-teks agama ini cukup terbuka atau tidak untuk menampung limpahan berbagai tipe penafsiran yang berbeda-beda ini. Ini mendorong Abu Zayd untuk menentukan hingga sejauh mana jangkauan tafsir (Interpretative Scope) yang dapat diberikan teks sehingga ia tidak terreduksi menjadi saluran belaka bagi ideology-ideologi yang tengah bertarung. Buku Abu Zayd yang membicarakan masalah ini adalah kajian tentang ilmu-ilmu Qur’an yang terbit pada tahun 1990. seiring dengan ini Abu Zayd juga mulai menyadari tentang perlunya menguakkan ideology-ideologi yang di gunakan oleh berbagai wacana tentang islam ini dan sejauh mana otoritas yang dapat diberikan oleh suatu penafsiran tertentu terhadap teks. Topik ini kemudian ia elaborasi lebih lanjut dalam bukunya yang terbit dua tahun berikutnya (1992) yang berjudul Kritik Wacana Agama juga dalam bukunya Imam Syafi’i Dan Pembentukan Ideology Mederatisme yang terbit pada tahun yang sama. Ketika buku inilah yang belakangan memicu terjadinya “Kasus Abu Zayd” yang menggemparkan itu dimana Abu Zayd di kafirkan dan dituntut bercerai dengan istrinya, hingga ia harus mengungsi ke negeri Belanda.[2]
[1] Jurnal Gerbang, Menggali Tradisi Demokrasi Civil Society, (Surabaya, eLSAD, 2002) Hlm. 218
[2] Muhammad Mansur. Khorian Nahdliyin, Hermeneutika Inklusif; Mengatasi Problematika Bacaan Dan Cara-Cara Pentakwilan Atas Diskursus Keagamaan (Yogyakarta, LKiS Pelangi Aksara, 2004)


hlm. vihttp://kafeilmu.com/2010/12/sejarah-kehidupan-nasr-hamid-abu-zayd.html/3

0 comments:

Saturday, November 26, 2011

Nasr Hamid Abu Zayd


Sejarah Kehidupan Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu tokoh pemikir Islam modern yang banyak menelorkan pemikiran-pemikiran baru. Tokoh ini berasal dari Mesir disaat negara Mesir baru membentuk diri. Latarbelakang kehidupannya dapat menjadi referensi yang baik untuk menelaah pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Pembaca yang budiman, berikut adalah sejarah kehidupan Nasr Hamid Abu Zayd, dan semoga dapat menjadi sumbangan referensi untuk menelaah pemikiran Islam.


Nasr Hamid Abu Zayd lahir di desa Qahafah, dekat kota Tanta, Mesir[1], pada tanggal 10 juli 1943, dari latar belakang keluarga yang sangat religius. Masih dalam usia kanak-kanak, yaitu ketika berumur 8 tahun, ia telah berhasil menghafalkan Qur’an hingga khatam. Seperti anak-anak seusia di desa kelahiranya, selain mengikuti pendidikan formal di sekolah negeri setempat, Abu Zayd juga mengikuti pendidikan agama secara non-formal di Kuttab atau lembaga pendidikan tradisional yang ada di daerahnya. Di kuttab itulah ia belajar membaca, menulis dan juga menghafal Qur’an, disamping menerima pelajaran-pelajaran keagamaan tradisional yang lain.
Masa kanak-kanak Nasr Hamid Abu Zayd adalah masa-masa panas dan menegangkan dalam sejarah Mesir, tetapi juga umumnya sejarah negara-negara yang disebut dunia ketiga. Setelah terlepas secara formal dari jajahan pemerintahan kolonial, negara-negara ini segera dihadapkan pada upaya pemerintahan sendiri dan penentuan format kenegaraan yang hendak diwujudkan. Pada saat itulah muncul berbagai macam ideology dan pemikiran yang saling berkompetisi, baik yang bercorak keagamaan maupun yang sekuler. Tetapi yang dominan kala itu adalah ideology nasionalisme Arab yang bercorak sekuler yang merupakan ideology resmi regime Gamal Abdul Nasser yang berkuasa.
Sebagai tandingan dari ideology negara ini adalah gerakan kalangan islamis yang terhimpun dalam Ikhwanul Muslimin. Mereka ini berjuang untuk mewujudkan suatu system pemerintahan yang biasa memenuhi standart pemerintahan yang islami seperti yang mereka bayangkan, baik dalam bentuk maupun cita-cita ideologisnya. Pada masa-masa inilah Sayyid Qutb mencuat dengan gagasan tentang Keadilan Social Menurut Islam, suatu tema yang tentunya tidak lepas dari bayang-bayang ideology social yang menguasai kebanyakan dunia ketiga saat itu. Ia misalnya, menulis sebuah buku yang berjudul “ Islam Dan Keadilan Social”. Nasr Hamid Abu Zayd sendiri juga tidak terlepas dari arus deras ini. Ketika Ikhwan Al Muslimin kian menguat dan memiliki banyak cabang di seantero pelosok mesir, Nasr Hamid Abu Zayd kecilpun turut pula bergabung dalam gerakan Ikhwan Al Muslimin yang ada di desanya. Bahkan dalam usianya yang mesih belia itu (12 tahun) ia telah merasakan tahanan penjara ketika pihak keamanan melakukan serangkaian penangkapan terhadap para aktivis Ikhwan.
Abu Zayd menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Tanta. Ketika ia baru berumur 14 tahun ayahnya meninggal dunia sehingga, sambil bersekolah, ia juga harus bekerja untuk menopang kebutuhan keluarganya. Pada tahun 1960 Abu Zayd berhasil menyelesaikan studynya disekolah tekhnik di kota kelahiranya. Setelah itu selama 12 tahun (sampai 1927) ia bekerja sebagai tekhnisi dilembaga komunikasi nasional. Pada periode inilah Abu Zayd mulai tertarik dengan gerakan sosialisme dan revolusi yng merupakan trand yang dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Tulisan ilmiah pertamanya yang diterbitkan dalam Al Adab (oktober 1964) bahkan mengulas tentang kesusastraan dikalangan para buruh dan petani yang ia tulis ketika baru berumur 21 tahun. Pada saat itu Nasr Hamid Abu Zayd juga menunjukan sikap kritisnya terhadap gerakan Ikhwan Al Muslimin, meski belum ia tunjukan dalam tulisan-tulisanya.
Pada tahun 1968 sembari tetap berkerja dilembaga komunikasi tersebut, Abu Zayd memulai studynya di jurusan bahasa dan sastra arab Universitas Kairo. Studinya ini berhasil ia selesaikan pada tahun 1972 dengan memperoleh penghargaan tertinggi. Karena prestasinya yang menonjol ini pada tahun itu juga ia diangkat sebagai asisten dosen di almamaternya. Semula, sesuai dengan minatnya dari awal, Nasr Hamid Abu Zayd ingin menekuni bidang kritik sastra dan bukanya studi islam tetapi pihak jurusan bahasa dan sastra arab mewajibkan setiap tenaga pengajar yang baru bergabung untuk mengambil spesialisasi di bidang studi Qur’an dan hadits. Inilah yang membuat Abu Zayd mengubah focus kajianya dari bidang linguistik dan kritik sastra murni menjadi menekuni studi Qur’an, meskipun ia sendiri sangat enggan melakukanya. Abu Zayd akhirnya bersedia mengambil spesialisasi Studi Qur’an ini tapi ia terlebih dahulu mengajukan syarat agar diberi kebebasan untuk memilih pembimbing untuk studi selanjutnya. Abu Zayd kemudian memilih prof. Abd Al Aziz Al Akhwani. Seperti diakui Abu Zayd, inilah awal perkenalanya secara ilmiah dengan tradisi keagamaan arab.
Tesis Abu Zayd menela’ah tentang konsep metafor yang terdapat dalam ilmu retorika arab (Balaghoh) menurut aliran teologi rasional Mu’tazilah. Setelah selama empat tahun menganalisis dan membandingkan wacana golongan Mu’tazilah dan para penentangnya, Abu Zayd sampai pada kesimpulan bahwa penafsiran teks agama dalam Qur’an telah menjadi bagian yang integral dari kerangka kognitif dalam kesadaran arab islam. Setiap konsep intelektual yang dicetuskan berusaha didapatkan legitimasi dan pembenaranya dari Qur’an. Akibatnya, penafsiran telah menjadi salah satu perangkat yang digunakan dalam pertarungan intelektual, social dan politik. penelitian desertasi Abu Zayd tentang hermeneutika mistis Muhyidin Ibnu Al Araby juga mendapat hal yang sama dan bahwa semua penafsiran teks agama ternyata dipengaruhi oleh factor-faktor sosio politis dan cultural semasanya.

Lebih jauh, Abu Zayd bahkan juga mendapati bahwa hal yang sama terdapat pula pada fenomena social-politik di mesir kontemporer. Ketika itu Anwar Sadat baru saja menggantikan Gamal Abdul Nasser. Seiring dengan perubahan tendensi perubahan politik dari regime yang baru ini dari ideology sosialis ke retorika islam, maka muncul pula corak islam yang berbeda dalam kontes perpolitikan mesir. Jika sebelumnya islam lebih di gambarkan sebagai agama keadilan social sejalan dengan ideology sosialisme Nasseris, maka dengan kebijakan ekonomi pintu terbuka (Infitah) pada era Saddat ini gambaran tentang islam juga turut berubah sebagai agama yang melindungi hak kepemilikan pribadi. Jika sebelumnya untuk menghadapi agresi Israel islam cenderung digambarkan sebagai agama jihad, maka kini islam digambarkan sebagai agama perdamaian karena sadat justru menjalin perdamaian dengan Israel.
Semenjak masa Sadat ini pula gerakan islam memperoleh tempat kembali ditengah arena perpolitikan mesir dan dengan demikian kian mengintensifkan penggunaan jargon-jargon agama dalam menyingkapi berbagai isu social-politik. Saddat dengan sadar rupanya memanfaatkan sentimen agama ini untuk menghadapi lawan-lawan politiknya, yaitu kelompok Nasseris dan kalangan liberalis lainya disatu sisi, dan berbagai gerakan radikal islam disisi yang berbeda. Dampak kebijakan ini pada wacana islam adalah maraknya tema-tama “legitimasi” dalam pemikiran keagamaan dan politik islam, baik yang ditujukan untuk mendukung maupun menentang regime penguasa. Sementara tema-tema yang bersifat reflektif dan permenungan sama sekali absen dalam wacana itu. Dalam situasi semacam ini, maka islam dan teks-teks islam sebenarnya telah menjadi ruang kontestasi ideology dari berbagai subjek kepentingan, baik individu kelompok maupun kelas. Pada dasarnya, agama dan teks-teksnya bersifat netral, dalam artian merupakan teks yang terbuka untuk berbagai aktualisasi makna. Tetapi kontekstulisasi dikancah pertarungan ideiologis yang spesifik sudah barang tentu sangat ditentukan oleh pretensi dan kecendrungan pembacanya.
Menurut Abu Zayd fenomena demikian meng-isyaratkan bahwa teka agama yang berasal dari masa lampau telah dan terus menerus diinterpretasikan mengikuti keprihatinan dan tekanan yang dihadapi pembacanya pada masa kini. Disinilah Abu Zayd mulai khawatir mengenai apakah teks-teks agama ini cukup terbuka atau tidak untuk menampung limpahan berbagai tipe penafsiran yang berbeda-beda ini. Ini mendorong Abu Zayd untuk menentukan hingga sejauh mana jangkauan tafsir (Interpretative Scope) yang dapat diberikan teks sehingga ia tidak terreduksi menjadi saluran belaka bagi ideology-ideologi yang tengah bertarung. Buku Abu Zayd yang membicarakan masalah ini adalah kajian tentang ilmu-ilmu Qur’an yang terbit pada tahun 1990. seiring dengan ini Abu Zayd juga mulai menyadari tentang perlunya menguakkan ideology-ideologi yang di gunakan oleh berbagai wacana tentang islam ini dan sejauh mana otoritas yang dapat diberikan oleh suatu penafsiran tertentu terhadap teks. Topik ini kemudian ia elaborasi lebih lanjut dalam bukunya yang terbit dua tahun berikutnya (1992) yang berjudul Kritik Wacana Agama juga dalam bukunya Imam Syafi’i Dan Pembentukan Ideology Mederatisme yang terbit pada tahun yang sama. Ketika buku inilah yang belakangan memicu terjadinya “Kasus Abu Zayd” yang menggemparkan itu dimana Abu Zayd di kafirkan dan dituntut bercerai dengan istrinya, hingga ia harus mengungsi ke negeri Belanda.[2]
[1] Jurnal Gerbang, Menggali Tradisi Demokrasi Civil Society, (Surabaya, eLSAD, 2002) Hlm. 218
[2] Muhammad Mansur. Khorian Nahdliyin, Hermeneutika Inklusif; Mengatasi Problematika Bacaan Dan Cara-Cara Pentakwilan Atas Diskursus Keagamaan (Yogyakarta, LKiS Pelangi Aksara, 2004)


hlm. vihttp://kafeilmu.com/2010/12/sejarah-kehidupan-nasr-hamid-abu-zayd.html/3

No comments: