Pendidikan Karakter
Dunia pendidikan,
termasuk pendidikan formal, non-formal dan informal saat ini telah terbius oleh
dogma, dalil-dalil, ataupun ajaran dari
luar negeri yang justru sangat asing di negara ini.
Padahal, negara ini
memiliki banyak ajaran yang sangat luar biasa dan tinggi kelasnya, seperti
karya Ki Hajar
Dewantara. Bila
dicermati, yang terjadi sekarang adalah lemahnya sikap toleransi terhadap
sesama warga bangsa, menurunnya
kepercayaan akan kebenaran sistem negara-bangsa yang diwariskan oleh pendiri
republik ini, ditambah
lagi munculnya
berbagai perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku
lain yang bertentangan dengan norma sosial,
susila, dan agama. Banyak kalangan yang akhirnya bertanya, “Apa yang
salah dengan pendidikan nasional
sehingga belum berhasil membangun karakter bangsa sebagaimana yang diamanatkan Pancasila, UUD 1945,
dan UU NO. 20 Tahun 2003? ”.
Membuat orang
berkarakter adalah tugas pendidikan. Esensi pendidikan adalah membangun manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang baik,
berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang dianut,
yaitu nilai-nilai luhur Pancasila.
Seluruh butir Pancasila sepenuhnya terintegrasi ke dalam harkat dan martabat
manusia (HMM). HMM terdiri tiga
komponen, yaitu hakikat manusia, pancadaya kemanusiaan, dan dimensi
kemanusiaan. Hakikat manusia adalah makhluk
bertakwa, diciptakan paling sempurna dan berderajat paling tinggi, khalifah di
muka bumi, dan penyandang Hak Asasi
Manusia. Pancadaya Kemanusiaan dengan unsur-unsur daya takwa, cipta, rasa,
karsa, dan karya dan dimensi
kemanusiaan dengan unsur-unsur dimensi kefitrahan, keindividualan, kesosialan,
kesusilaan, dan keberagamaan.
HMM yang mengandung
nilai-nilai luhur Pancasila inilah yang menjadi basis pendidikan. Dalam hal
ini, paradigma pendidikan yang
dikembangkan dan diimplementasikan adalah memuliakan kemanusiaan manusia, yang
mana kemanusiaan manusia
adalah HMM itu sendiri. Pendidikan yang terwujud melalui proses pembelajaran
menyangkut sepenuhnya esensi
kegiatan belajar, usaha menguasai sesuatu yang baru, dengan lima dimensinya,
yaitu tahu, bisa, mau, biasa dan
ikhlas. Ke dalam dimensi-dimensi belajar itulah nilai-nilai karakter dimuatkan.
Dengan demikian, proses pembelajaran yang
terjadi tidak hanya sekedar transfer pengetahuan (knowledge) semata, melainkan
juga transfer keterampilan (skill)
dan transfer nlai-nilai (values), yaitu nilai-nilai kehidupan pada umumnya dan
nilai-nilai spiritual keagamaan. Hal ini
sesuai dengan prinsip belajar terpadu yang mengandung di dalamnya penguasaan
pengetahuan (thought), kemampuan
bertindak (action), kebiasaan (habit) yang akhirnya mengarah kepada pembentukan
karakter (character).
Pendidikan pada akhirnya adalah pembangunan karakter.
Proses pembelajaran
yang bermuatan pendidikan karakter itu diselenggarakan dengan menegakkan dua
pilar, yaitu pilar kewibawaan yang
bernuansa sentuhan tingkat tinggi (high touch) oleh pendidik terhadap peserta
didik dan pilar kewiyataan yang
berisi kegiatan operasional pembelajaran berteknologi tinggi (high tech) dalam
dinamika yang aktif, dinamis dan
menggairahkan. Dua pilar pembelajaran tersebut merupakan implementasi pilar
budaya nasional, ing ngarso sung tulodo,
ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (artinya: di depan memberikan
teladan, di tengah membangun semangat
dan kemauan, di belakang membangun kemampuan dan kekuatan --dalam suasana
sentuhan tingkat tinggi (high
touch)–, dan alam takambang jadi guru --dalam suasana berteknologi
tinggi (high tech)–. Pendidikan
karakter-cerdas di pusat pendidikan formal, dilakukan dengan mengendalikan
seluruh aktivitas di satuan pendidikan melalui
proses pembelajaran yang bermuatan nilai-nilai luhur Pancasila dan HMM dalam
suasana interaksi yang cerdas. Pendidik
dan tenaga kependidikan mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan
perguruan tinggi, termasuk satuan
pendidikan kedinasan dan satuan pendidikan nonformal, secara terus-menerus
memelihara suasana kehidupan mendidik yang
secara konsisten mengikuti tahapan thought, action, habit and character.
Institusi diklat yang
ada di berbagai instansi pemerintah maupun swasta turut bertanggungjawab
terhadap pendidikan karakter. Pelaksanaan
diklat tidak hanya sebatas pemberian pengetahuan dan keterampilan, melainkan
juga ikut diarahkan kepada
pendidikan karakter-cerdas.
Seluruh satuan
pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi dan
satuan-satuan
pendidikan nonformal,
wajib menjadikan pendidikan karakter-cerdas sebagai bagian utama program satuan
masingmasing.
Saat ini, ada
sejumlah satuan pendidikan yang memprakarsai pendidikan karakter-cerdas, dengan
berbagai
istilah yang berbeda,
seperti integrasi soft skill dalam kurikulum, pendidikan budi pekerti, dan
sejenisnya. Namun pendidikan budi
pekerti yang dilakukan itu secara tersendiri tidak menjadi butir rekomendasi.
Pendidikan karaktercerdas justru hendaknya
dimasukkan menjadi bagian integral dari seluruh program pembelajaran.
Untuk area dan tujuan
yang lebih spesifik, terutama berkenaan dengan pendidikan karakter-cerdas pada
satuan-satuan pendidikan formal dan
nonformal perlu dibentuk Satuan Tugas pengembangan dan pelaksanaan pendidikan
karaktercerdas.
Satuan Tugas ini
dibentuk dan ditugasi secara resmi oleh instansi pendidikan untuk menyusun
program,
menyiapkan dan
mengarahkan pelaksanaan serta memonitor penyelenggaraan pendidikan
karakter-cerdas, sesuai dengan tingkat
kewilayahannya, mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai
pada gugus satuan pendidikan. Dalam hal
ini, LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) sebagai penyelenggara
pendidikan profesi pendidik dan
tenaga kependidikan, diikutsertakan dalam peran yang aktif dan langsung.
0 comments:
Post a Comment