Mahasiswa bahasa mana yang tidak kenal
hermeneutika? Atau barangkali lupa dengan
Hans-Georg Gadamer,
bapak hermeneutika terkemuka? Namun, siapa sangka kalau studi tentang
hermeneutika memang menantang –untuk tidak mengatakannya sulit
–. Resensi berikut adalah resensi terhadap buku babon Gadamer tentang
hermeneutika. Dengan sedikit banyak mengikuti ulasannya, diharapkan
dapat sedikit mempermudah mendalami dan memetakan seperti apakah
hermeneutika itu? Berikut resensi selengkapnya:
Judul Resensi: Debat Kritis tentang Imanensi Fenomenologis
Oleh: Syafruddin Azhar
"Bahasa bukanlah konvensionalismenya yang rumit, juga
bukan beban praskematisasi yang membebani kita. Tetapi, bahasa adalah
kekuatan generatif dan kreatif yang tanpa henti membuat keseluruhan ini
mengalir. (Hans-Georg Gadamer, 1975)”
TOPIK hermeneutika merupakan fenomena paling menarik bagi para
ilmuwan dan teoretikus modern sekarang ini. Istilah ini dalam
historisitasnya berasal dari akar kata Yunani hermeneuein (menafsir) dan
hermeneia (tafsiran). Dalam mitologi Yunani, istilah ini identik dengan
sosok Dewa Hermes yang bertugas menghubungkan pesan dari Dewa Jupiter
kepada manusia. Akan tetapi, pesan tersebut harus ditafsirkan terlebih
dahulu oleh si pembawa pesan sebelum disampaikannya kepada manusia.
Berawal dari mitologi ini, secara tersirat terkandung unsur penting
perilaku menafsir, yakni menjelaskan dan menerjemahkan.
Pada abad ke-19, hermeneutika dianggap sebagai prinsip dasar
penafsiran segala bentuk teks sebagai metode khusus dalam ilmu
humaniora. Kemudian menjadi kerangka berpikir baru kefilsafatan sejak
Martin Heidegger (1889-1976) dan Hans-Georg Gadamer (l. 1900), filsuf
terkemuka Jerman. Perjalanan waktu ini menjadikan pengertian di balik
istilah "hermeneutika" terus bermetamorfosis dengan kemajuan ilmu
pengetahuan (sains).
Kajian utama karya monumental Gadamer ini Kebenaran dan Metode (Truth
and Method), hanyalah pengertian mutakhirnya saja sebagai ajang untuk
membawa pembaca ke dalam semangat berpolemik. Hans-Georg Gadamer ingin
menantang secara konstruktif metode empiris untuk memasuki wilayah
humaniora yang diulas secara kritis-estetika modern dan teori pemahaman
historis dari perspektif Heideggerian, juga merupakan sebuah
hermeneutika filosofis yang bersandarkan pada ontologi bahasa.
Kajian ini menaruh perhatian pada masalah hermeneutik. Fenomena
pemahaman dan penafsiran yang benar terhadap apa yang dipahami bukan
hanya merupakan masalah yang cocok bagi metodologi ilmu pengetahuan
manusia. Untuk waktu lama, ada hermeneutika teologis dan hukum, yang
secara teoretis tidak banyak berkaitan dengan, dan merupakan bantuan
bagi, aktivitas praktis seorang hakim atau pendeta yang telah
menyelesaikan pendidikan teoretisnya. Dari asal usul sejarahnya, masalah
hermeneutika melampaui batas-batas konsep tentang metode yang telah
ditetapkan oleh ilmu pengetahuan modern. Pemahaman dan penafsiran
terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmu pengetahuan, tetapi
jelas merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia
Fenomena hermeneutik
pada dasarnya juga bukan sebuah metode. Hermeneutika tidak berkaitan
dengan metode pemahaman, yang dengan memakai metode tersebut teks
diungkap melalui penyelidikan ilmiah seperti semua objek pengalaman yang
lain. Ia tidak semata-mata berkaitan dengan pengumpulan pengetahuan
yang telah disahkan untuk memuaskan ideal metodologis ilmu pengetahuan,
namun hermeneutika juga berkaitan dengan pengetahuan dan kebenaran.
Dalam memahami tradisi tidak hanya dengan memahami teks, tetapi wawasan
juga harus diperoleh dan kebenaran harus diakui. Tetapi jenis wawasan
dan kebenaran apa?
Di hadapan ilmu pengetahuan modern (sains) yang mempunyai posisi
dominan dalam penjelasan dan pembenaran filosofis terhadap konsep
pengetahuan dan kebenaran, pertanyaan seperti ini tampaknya tidak sahih.
Namun pertanyaan ini tidak dapat dihindari, bahkan di dalam ilmu
pengetahuan sekalipun. Fenomena pemahaman tidak hanya mencakup semua
hubungan manusia dengan dunianya. Ia juga mempunyai kesahihan tersendiri
dalam ilmu pengetahuan dan mempertahankan setiap usaha untuk
mengubahnya ke dalam metode ilmu pengetahuan. Penyelidikan yang
dilakukan di dalam buku karya Gadamer ini dimulai dengan perlawanan di
dalam ilmu pengetahuan terhadap klaim universal metode ilmiah.
Penyelidikan ini mempunyai perhatian untuk mencari pengalaman kebenaran
yang melampaui ruang kontrol metode ilmu pengetahuan di manapun ia
ditemukan, dan menyelidiki legitimasinya.
Buku Gadamer ini bersifat fenomenologis di dalam metodenya. Ini
tampak paradoksikal sebagaimana juga kritisisme Heidegger terhadap
persoalan transendental dan pemikirannya tentang bentuk ‘pembalikan’
dari dasar perlakuan Gadamer terhadap masalah hermeneutika universal.
Namun Gadamer melihat bahwa prinsip pemaparan fenomenologi dapat
diterapkan pada penggunaan Heidegger ini, yang akhirnya menunjukkan
masalah hermeneutik. Karena itulah, Gadamer menyebutnya sebagai "masalah
imanensi fenomenologis."
"Kebenaran dan metode" adalah sesuatu yang terus mengembang dalam
relasi horizontal-vertikal yang penuh kontradiksi dan paradoks. Dalam
kerangka pemikiran filsafat strukturalisme the endless play-nya Jacques
Derrida (1930-2004), manusia dalam memahami realitas selalu hanya pada
aspek tertentu yang terus saja bermunculan tanpa akhir. Untuk mencapai
kebenaran dalam konteks konstelasi penafsiran, seorang hermeneutis harus
lari dari cengkeraman metode untuk kemudian menceburkan diri di tengah
pusaran dialektika. Menurut Gadamer, dipergunakannya metode justru
merintangi kebenaran; sedangkan dialektika tiada henti mengumpulkan
serpihan kebenaran itu hingga akhirnya menjadi "bulat dan utuh."
Kajian tentang subjek tertentu yang ada di sini juga menggagas kemungkinan teori hermeneutika berbasis fenomenologi
seperti yang dilakukan Heidegger. Gadamer secara eksplisit menjadikan
analisis Heidegger tentang prastruktur pemahaman dan historisitas
intrinsik keberadaan manusia sebagai fondasi dan titik awal analisisnya
tentang kesadaran sejarah. Gadamer mengasumsikan dialektika yang
didasarkan pada struktur keberadaan sebagaimana dijelaskan pada
prastruktur pemahaman dalam karya Heidegger, Sein und Zeit (1927) atau
Being and Time (1962). Heidegger memasuki masalah hermeneutika dan
kritisisme historis hanya untuk mengembangkan, demi tujuan ontologi.
(hlm. 321)
Rekonsepsi pemahaman radikal Heidegger dalam pemikiran Gadamer
digiring ke dalam ekspresi yang sistematis. Konsepsi hermeneutika yang
lama sebagai basis metodologis, khususnya ilmu humaniora
(Geisteswissenschaften), telah ditinggalkan. Status metode itu sendiri
menjadi dipertanyakan karena Gadamer mengulasnya sebagai suatu ironi:
metode bukanlah cara menuju kebenaran. Sebaliknya, kebenaran menegasikan
manusia yang metodis.
Sekalipun demikian, Gadamer tidaklah bersifat anti-metodologis. Ia
berargumen bahwa pretensi metodologi apa pun (positivistik atau bukan)
adalah "buta" kalau memandang dirinya sebagai epistemologi, yakni
menghilangkan syarat kebenaran (the true) menjadi syarat yang benar (the
right) dari sebuah aplikasi teknik. Gadamer menilai karya monumentalnya
ini sebagai upaya dalam memenuhi aspirasi metodologi yang terdalam. Di
bawah metode ini, ia ingin menjelaskan syarat mendasar bagi munculnya
kebenaran yang bukan sekadar suatu teknik tentang sesuatu yang dilakukan
subjek, melainkan sebagai akibat dari sesuatu yang "terjadi tanpa
kemauan kita dan sesuatu yang terjadi di luar tindakan kita."
Kajian filosofis yang cerdas dan mendalam dalam buku Kebenaran dan
Metode ini hanya dapat disejajarkan dengan dua karya monumental lainnya
tentang teori hermeneutika yang ditulis pada abad ke-20 karya Joachim
Wach, Das Verstehen, dan karya Emilio Betti, Teoria Generalle della
Interpretazionne. Karya monumental Betti mencakup lintas wilayah
disiplin interpretasi bagi ilmu humaniora. Dengan dipublikasikannya
karya Gadamer ini menjadikan teori hermeneutika memasuki suatu fase baru
yang penting. Ia telah berjasa dalam menemukan problem filosofis
pengembangan ontologi baru peristiwa pemahaman.
Apa yang menarik
dari buku ini? Membaca buku karya Gadamer ini memang membutuhkan
keseriusan dan ketekunan ekstra mengingat apa yang disajikan dalam buku
ini termasuk salah satu topik yang cukup berat dan serius. Kendati
demikian, buku ini memberikan nuansa baru dalam berpikir rasional
melalui filsafat hermeneutika pada ontologi bahasa. Gadamer tampaknya
ingin kembali pada eksistensi humanisme, yakni rasionalitas.
Melalui buku Kebenaran
dan Metode ini, Gadamer mengangkat tema kritis terutama tentang
kesadaran hermeneutik yang harus dijaga. Ia menyadari klaim superioritas
yang dibuat oleh pemikiran filosofis mempunyai sesuatu yang samar dan
tidak real. Kesadaran ini mengonfrontasikan kehendak manusia yang lebih
dari sekadar memperdalam kritisismenya terhadap apa yang hilang sebelum
hal itu menjadi utopian atau kesadaran eskatologis, dengan sesuatu yang
berasal dari kebenaran ingatan: "Apa yang masih dan juga nyata."
Karya genius filsafat hermeneutika ini dapat dijadikan sebagai
penampakan pengaruh yang kuat dari analisis pemahaman ontologi
Heidegger. Akan tetapi beberapa bidang lain perlu dieksplorasi mengenai
signifikansi teori hermeneutika. Misalnya, filsafat bahasa, analisis
logika, teori informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (orasi).
Gadamer melakukan penjelajahan intelektual pada tataran filosofis dan
teoretis yang membongkar hingga ke dasar substansinya. Dengan paparan
bernas, Gadamer mencoba mengklarifikasi tema interpretasi
hermeneut-ekspresivist melalui debat kritis estetika kontemporer beserta
segenap kritikannya yang menukik dan cerdas. Dengan demikian medan
jelajah buku Kebenaran dan Metode ini berada dalam dataran filsafat,
politik, bahasa, sains, seni, dan kajian ilmu humaniora dengan penekanan
khusus pada "filsafat hermeneutika" sebagai kerangka konseptual
sekaligus metode analisisnya.
Tak dapat dipungkiri gaya penuturan Gadamer dalam buku ini memang
memesona walau dalam tataran khazanah filsafat yang njlimet. Ia
menyumbangkan pemikirannya yang reformatif dan progresif. Namun
demikian, ada satu keterbatasan sebagaimana dalam karya terjemahan
umumnya, pembaca kadang tersandung oleh deretan kata atau kalimat yang
tidak jelas konsepnya. Ini rupanya tak dapat dihindari karena bahasa
adalah ekspresi perasaan dan pikiran penerjemahnya. Mungkin juga
perbedaan budaya, ide, dan cita rasa. Karena itu, kajian filsafat
seperti ini erat kaitannya dengan ontologi bahasa. Sebagaimana dikatakan
Gadamer dalam buku ini (hlm 660), bahwa bahasa adalah kekuatan
generatif dan kreatif yang tanpa henti membuat keseluruhan ini mengalir.
Pertanyaan mendasarnya adalah seberapa jauh aspek pemahaman itu
sendiri dan linguistisitasnya dapat dicapai? Bisakah ia mendukung
rujukan filosofis umum di dalam proposisi, "Apa yang bisa dipahami itu
adalah bahasa?" Sejatinya, universalitas bahasa membutuhkan sebuah
kesimpulan metafisik yang tak dapat dipertahankan bahwa ‘segala sesuatu’
hanya bahasa dan peristiwa bahasa? Benar, referensi yang jelas terhadap
yang tak bisa salah tidak dengan sendirinya memengaruhi universalitas
bahasa.
Debat kritis tentang imanensi fenomenologi yang njlimet, namun penuh
daya pikat ini diungkapkan secara menarik oleh Gadamer. Buku Kebenaran
dan Metode yang diterjemahkan dari edisi Inggris ini dinilai
kontroversial di kalangan ahli filsafat hermeneutika Jerman.
http://kafeilmu.com/2011/09/resensi-buku-hermeneutika-truth-and-method.html
0 comments:
Post a Comment