STRUKTUR, DASAR, DAN PERKEMBANGAN EKSISTENSI
oleh: Cholil Eren Masyah
PENDAHULUAN
Berdasarkan
kamus psikologi Chaplin, Psikologi eksistensial adalah aliran psikologi
dimana pokok persoalan psikologi adalah isi-isi kesadaran, yang harus
diselidiki lewat metode introspeksi(mawas diri). Istilah eksistensi
berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti
bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah in hendak dikatakan oleh
para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya
dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi,
mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak”
atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”.
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebgaimana
memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi
manusia yang dimaksud bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya
tubuh dan tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada
saat itu (misalnya perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan
lainnya). Manusia eksistensial lebih sekedar manusia alam
(suatu organisme/alam, objek) seperti pandangan behaviorisme, akan
tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia dipandang sebagai satu
kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya.
Manusia (individu) tidak mempunyai eksistensi yang dipisahkan dari
dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada individu yang
memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau
mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan
(co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang
tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada
individu, dan tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu
kontekstual, oleh karena sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia
tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia, melalui dunianyalah maka
makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain.
Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh
individu maka dunia tidak ada sebagai dunia. (Zainal A., 2002)
B I O G R A F I
Ludwig
Binswager lahir pada tanggal 13 april 1881, di Kreuzlingen, Swiss di
tengah keluarga yang memiliki tradisi kedokteran dan psikiatrik kuat.
Kakeknya, yang namanya kecilnya juga Ludwig adalah pendiri Belleuve
Sanatorium di Kruezlingen pada tahun 1857. ayahnya Robert adalah
direktur Sanatorium tersebut. Pada tahun 1911, Binswanger diangkat
menjadi direktur medis Belleuve sanatorium.
Ludwig
meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Zurich tahun1907.
Dia belajar dibawah bimbingan Carl Jung dan menjadi asistennya dalam
Freudian society. Seperti halnya Jung, dia juga lebih terpengaruh Eugen
Bleuleur, seorang psikiatri Swiss terkemuka. Dia adalah salah seorang
pengikut pertama Freud di Swiss. Pada awal 1920-an, Binswanger menjadi
salah pelopor pertama dalam menerapkan fenomenologi dalam psikiatri.
Sepuluh tahun kemudian dia menjadi seorang analisis eksistensial.
Binswanger mendefinisikan analisis eksistensial sebagai analisis
fenomenologis tentang eksistensi manusia yang actual. Tujuannya adalah
rekonstruksi dunia pengalaman batin.
Binswanger
adalah terapis pertama yang menekankan sifat dasar eksistensial dari
tipe krisis yang dialami pasien dalam pengalaman terapi. Binswanger pada
dasarnya berjuang untuk menemukan arti dalam penyakit gila dengan
mnerjemahkan pengalaman para pasien kedalam teori psikoanalisis. Setelah
membaca pendekatan filsafat Heidegger “Being in time” (1962),
Binswanger menjadi lebih eksistensial dan fenomenologis dalam
pendekatannya kepada para pasien. Pada tahun 1956, Binswanger berhenti
menjadi direktur Sanatorium setelah menduduki posisi tersebut selama 45
tahun. Dia terus melakukan studi dan menulis sampai meninggal pada tahun
1966.
Medard
Boss lahir di St. Gallen, Swiss pada tanggal 4 oktober 1903. kemudian
menghabiskan masa mudanya di Zurich pusat aktivitas psikologi saat itu.
Dia menerima gelar kedokteran university of Zurich pada tahun 1928.
kemudian melanjutkan studi ke Paris dan Wina serta membiarkan dirinya
dianalisis oleh S.Freud. Mulai tahun 1928, dia bergabung dengan Carl
Jung yang menunjukkan pada Boss kemungkinan lepasnya psikoloanalisis
dari interpretasi Freudian.
Dalam
masa-masa itu, Boss membaca karya-karya Ludwig Binswanger dan Martin
Heidegger. Pertemuannya dengan Heidegger pada tahun 1964 yang kemudian
berlanjut dengan persahabatannyalah yang membawanya kepada
psikologi eksistensial. Pengaruh dalam eksistensial sangat besar
sehingga sering disejajarkan dengan Binswanger.
Teori Eksistensial
Sebagaimana tercermin dalam tulisan Binswanger dan Boss, psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas
yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada
hubungan sebab akibat dalam eksistensial manusia, hanya ada rangkaian
urutan tingkah laku tetapi tidak bisa menurunkan kausalitas dari
rangkaian tersebut. Sesuatu yang terjadi pada seorang anak-anak bukan
penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebagai seorang dewasa. Peristiwa
yang terjadi mungkin memiliki makna eksistensi yang sama akan tetapi
tidak berarti peristiwa A menyebabkan peristiwa B. Psikologi
eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.
Untuk
menjelaskan perbedaan antara sebab dan motif, Boss mencontohkan dengan
jendela yang tertutup oleh angin dan manusia. Angin menyebabkan jendela
tertutup, tetapi manusia termotif untuk menutup jendela karena ia tahu
bahwa jika jendela terbuka maka air hujan akan masuk. Karena prinsip
kausalitas kurang relevan dengan tingkah laku manusia dan sebaliknya
motivasi dan pemahaman merupakan prinsip-prinsip operatif dalam analisis
eksistensial tingkah laku. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner,
1993)
Struktur Eksistensi
1. Ada-di-Dunia (Dasein)
Merupakan
dasar fundamental dalam psikologi eksistensial. Seluruh struktur
eksistensi manusia didasarkan pada konsep ini. Ada-di-dunia (Dasein)
adalah keseluruhan eksistensi manusia, bukan merupakan milik atau sifat
seseorang. Sifat dasar dari Dasein adalah keterbukaannya dalam
menerima dan memberikan respon terhadap apa yang ada dalam kehadirannya.
Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak
memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Dunia dimana manusia memiliki
eksistensi meliputi 3 wilayah, yaitu:
-
- Umweit (dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam
umwelt diantaranya kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan,
naluri-naluri, yakni dunia yang akan terus ada, tempat dimana kita harus
menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan kesadaran-diri manusia.
-
- Mitweit (“dunia bersama”)
Dunia perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat
perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna.
Dalam perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan
benci yang tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang
bersifat biologis semata.
-
- Eigenwelt (“dunia milik sendiri”)
Adalah kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia.
2. Ada-melampaui-Dunia (kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
Analisis
eksistensial mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai
pandangan lain selain bahwa manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin
melampaui dunia. Akan tetapi, Binswanger tidak mengartikan
ada-melampaui-dunia sebagai dunia lain melainkan mau mengungkapkan
begitu banyak kemungkinan yang dimiliki manusia untuk mengatasi dunia
yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. Istilah melampaui/mengatasi
dunianya dikenal juga dengan transendensi yang merupakan karakteristik
khas dari eksistensi manusia serta merupakan landasan bagi kebebasan
manusia.
Karena
hanya dengan mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut ia
dapat menjalani kehidupan yang otentik, apabila ia menyangkal atau
membatasi kemungkinan-kemungkianan yang penuh dari eksistensinya atau
membiarkan dirinya dikuasai oleh orang-oarang lain atau oleh
lingkungannya, maka manusia itu hidup dalam suatu eksistensi yang tidak
otentik. Manusia bebas memilih salah satu dari keduanya.
3. Dasar Eksistensi
Manusia
dapat hidup dengan bebas, akan tetapi bukan berarti tanpa adanya
batas-batas. Salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang
“dilemparkan”. Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia
menemukan dirinya dalam dunia yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya.
Manusia harus hidup sampai nasibnya berakhir untuk mencapai kehidupan
yang otentik. Keterlemparan juga diartikan sebagai keadaan diperdaya
oleh dunia, dengan akibat orang-orang menjadi terasing dari dirinya
sendiri.
4. Rancangan Dunia
Rancangan
dunia adalah istilah Binswanger untuk menyebut pola yang meliputi cara
ada di dunia seorang individu. Rancangan dunia seseorang menentukan cara
bagaimana ia akan bereaksi terhadap situasi-situasi khusus serta ciri
sifat dan simpton macam mana yang akan dikembangkannya.batas-batas dari
rancangan tersebut mungkin sempit, dan mengerut atau mungkin lebar dan
meluas.
Binswanger
mengamati bahwa jika rancangan dunia dikuasai oleh sejumlah kecil
kategori, maka ancamannya akan lebih cepat dialami dibandingkan bila rancangan dunia terdiri dari bermacam-macam kategori. Pada umumnya, orang memiliki lebih dari satu rancangan dunia.
5. Cara-cara Ada Dunia
Ada banyak cara yang berbeda untuk ada di dunia, setiap cara merupakan Dasein memahami,
menginterpretasikan, dan mengungkap dirinya. Diantaranya, cara jamak
(dengan menjalin hubungan-hubungan formal, kompetisi, dan perjuangan),
cara tunggal (untuk dirinya sendiri), dan cara anonimitas (tenggelam di
tengah orang banyak). Biasanya orang tidak hanya memiliki satu cara
eksistensi, tetapi banyak.
6. Eksistensial
Boss
tidak berbicara tentang cara-cara ada di dunia dengan arti sama seperti
yang dikemukakan oleh Binswanger. Boss lebih membicarakan mengenai
sifat-sifat yang melekat pada eksistensi manusia, selain itu hal lain
yang dibicarakan oleh Boss adalah spasialitas eksistensi (keterbukaan
dan kejelasan merupakan spasialitas (tdk diartikan dalam jarak) yang
sejati dalam dunia manusia), temporalitas eksistensi (waktu (bkn jam) yang
digunakan/dihabiskan manusia untuk….), badan (ruang lingkup badaniah
dalam pemenuhan eksistensi manusia), eksistensi dalam manusia milik
bersama (manusia selalu berkoeksistensi atau tinggal bersama
orang lain dalam dunia yang sama), dan suasana hati atau penyesuaian
(apa yang diamati dan direspon seseorang tergantung pada suasana hati
saat itu).
Dinamika Eksistensi
Psikologi
eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari
perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang
individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang
terdiri dari insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan
dorongan-dorongan.
Akan
tetapi ia memiliki kebebasan untuk memilih dan hanya ia sendiri yang
bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Apa saja yang dilakukannya
adalah pilihannya sendiri, orang sendirilah yang menentukan akan menjadi
apa dia dan apa yang akan dilakukannya.
Perkembangan Eksistensi
Konsep eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi.
Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses
menjadi sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah
untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan Dasein.
Menjadi orang dan menjadi dunia selalu berhubungan, keduanya merupakan mitra menjadi (co-becoming,
Strauss). Orang menyingkap kemungkinan-kemungkinan dari eksistensinya
melalui dunia, dan sebaliknya dunia tersingkap oleh orang yang ada di
dalamnya. Manakala bila yang satu tumbuh dan berkembang maka yang juga
harus tumbuh dan berkembang begitu pula sebaliknya apabila yang satu
terhambat maka yang juga terhambat. Bahwa kehidupan berakhir dengan
kematian sudah merupakan fakta yang diketahui oleh setiap orang.
Terapi
Inti
terapi eksistensial adalah hubungan antara terapi dengan kliennya.
Hubungan ini disebut pertemuan. Pertemuan adalah kehadiran asal satu
Dasein kehadapan Dasein yang lain, yakni sebuah “ketersingkapan” satu
Dasein terhadap yang lainnya. Berbeda dengan terapi-terapi formal,
seperti terapi gaya Freud, atau terapi-terapi yang “teknis”, seperti
terapi gaya behavioris, para terapis eksistensial sepertinya ingin
terlibat intim dengan Anda. Saling beri dan saling terima adalah bagian
paling alami dari pertemuan, bukan untuk saling menghakimi dan
memojokkan. (Boeree, C.George, 2004)
Para
analasis eksistensial menyadari kompleksitas manusia yang mereka hadapi
di ruang-ruang praktek mereka. Mereka menyadari bahwa manusia bukan
hanya merupakan makhluk biologis atau fisik, melainkan juga sebagai
makhluk yang unik dan mempunyai kesadaran. Dengan perkataan lain,
manusia tidak lain adalah tubuh (organisme) yang berkesadaran. Oleh
sebab itu, mereka beranggapan bahwa pendekatan analisis eksistensial
tentunya diperlukan, karena menwarkan kejernihan analisis atas
pasien-pasien mereka. Gejala manusia dan pengalaman-pengalamannya tentu
saja tidak bisa dikuantitafikasikan dan digeneralisasi begitu saja.
Perlu pengungkapan yang lebih spesifik. Analisis eksistensial dianggap
mampu melakukan tugas itu.
Dalam
analisis eksistensial yang dilakukan Binswanger sebagai metode baru
yang berbeda dari metode-metode yang ada sebelumnya, terlihat dalam
kasus yang ditanganinya yaitu kasus “Ellen West” yang merupakan salah
seorang pasiennnya. Binswanger mengadakan analisis fenomenologis
mengenai tingkah lakunya dan menggunakan penemuan-penemuan tersebut
untuk merumuskan eksistensi atau cara-cara ada-di-dunia pasien tersebut.
Ia menyelidiki arsip-arsip di Sanotarium dan memilih kasus seorang
gadis muda, yang pernah berusaha untuk melakukan bunuh diri. Kasus ini
menarik karena selain buku harian, catatan-catatan pribadi dan
puisi-puisinya yang penuh pesona, juga karena sebelum dirawat di
sanotarium, ia telah dirawat lebih dari dua periode oleh para
psikoanalis dan selama di sanitarium ia telah menerima perawatan dari
Bleuler dan Kraepelin. Dalam analisis eksistensial (yang tekanannya
lebih pada terapi), Binswanger pertama-tama menganalisis asumsi-asumsi
yang mendasari hakekat manusia kemudian ia berhasil sampai pada
pemahaman mengenai struktur tempat diletakkannya segenap system
terapeutik. (Zainal A., 2002)
Medard
Boss menggunakan analisis mimpi dalam terapinya terhadap seorang pasien
yang menderita obsesional-complusive. Pasien ini menderita
kompulsi-kompulsi untuk mencuci tangan dan membersihkan, ia sering
bermimpi tentang menara-menara gereja. Pasien ini sebelumnya telah
menjalani analisa Freudian dan menginterpretasikan isi mimpi tersebut
sebagai simbol-simbol phalik serta menjalani analisa Jungian yang
menghubungkannya dengan simbol-simbol arketif[1]
religius. Dalam dengan Boss sang pasien menceritakan tentang
mimpi-mimpinya yang datang berulang-ulang seperti ia mendekati sebuah
pintu kamar mandi yang selalu terkunci. Boss menunjukkan dalam
pembahasannya tenang kasus itu bahwa pasien merasa bersalah, karena
telah mengunci beberapa potensi yang sangat penting dalam dirinya. Ia
mengunci baik kemungkinan-kemungkinan pengalaman badaniahnya maupun
spiritualnya atau aspek “dorongannya” dan aspek “tuhannya”, semua itu
dilakukannya untk melarikan diri dari semua masalah yang dihadapinya.
Menurutnya pasien merasa bersalah bukan semata-mata bahwa ia mempunyai
rasa bersalah. Pasien tidak menerima dan tidak memasukkan kedua aspek
tersebut ke dalam eksistesinya, maka ia merasa bersalah dan berhutang
pada dirinya. Pemahaman mengenai rasa bersalah tidak ada hubungannya
dengan sikap menilai (“judgmental attitude”), yang perlu dilakukan
hanyalah memperhatikan kehidupan dan pengalaman pasien secara
sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat. (Zainal A., 2002)
Catatan kritik
Salah
satu kritik terhadap psikologi eksistensial adalah ketika psikologi
telah diperjuangkan untuk dapat membebaskan diri dari dominasi filsafat,
justru psikologi eksistensial secara terang-terangan menyatakan
kemuakkannya terhadap positivisme dan determinisme. Para psikolog di
Amerika yang telah memperjuangkan kemerdekaan psikologi dari filsafat
jelas menentang keras segala bentuk hubungan baru dengan filsafat.
Banyak psikolog merasa bahwa psikologi eksistensial mencerminkan suatu
pemutusan yang mengerikan dengan jajaran ilmu pengetahuan, karena itu
membahayakan kedudukan ilmu psikologi yang telah diperjuangkan dengan
begitu susah payah.
Salah
satu konsep eksistensial yang paling ditentang oleh kalangan psikologi
“ilmiah” ialah kebebasan individu untuk menjadi menurut apa ynag
diinginkannya. Jika benar, maka konsep in sudah pasti meruntuhkan
validitas psikologi yang berpangkal pada konsepsi tengtang tingkah laku
yang sangat deterministic. Karena jika manusia benar-benar bebas
menentukan eksistensinya, maka seluruh prediksi dan control akan menjadi
mustahil dan nilai eksperimen menjadi sangat terbatas. (Hall, Calvin S.
& Lindzey, Gardner, 1993)
Banyak
psikolog dan sarjana psikologi baik dalam maupun luar negeri
mempertanyakan keberadaan analisis eksistensial. Yang mereka pertanyakan
menyangkut dasar-dasar ilmiah dari analisis eksistensial. Psikologi
sebagai ilmu telah lama diupayakan untuk melepaskan diri
dan berada jauh dari filsafat. Psikologi harus merupakan suatu science
(ilmu pasti alami) yang independent. Padahal, analisis eksistensial
mengeritik ilmu (science) dan mengambil manfaat dari filsafat
(fenomenologi dan eksistensialisme). Atas dasar itu, banyak sarjana
psikologi yang bertanya, apakah analisis eksistensial relevan dengan
perkembangan ilmu psikologi modern?
Jawaban
atas pertanyaan itu tergantung pada pemahaman kita tentang manusia.
Siapakah atau apakah manusia itu? Apakah manusia pada dasarnya hanya
merupakan bagian dari organisme dan atau dari materi (aspek fisik
kehidupan)? Jika kita memahami manusia sebgaimana para behavioris atau
psikoanalis memahaminya, yakni bahwa manusia pada dasarnya merupakan
bagian dari organisme atau materi, maka analisis eksistensial tampaknya
tidak diperlukan. Cukup dengan pendekatan kuantitatif dan medis, dengan
eksperimen dan pembedahan otak musia, maka kita sudah cukup mampu
memahami dan menyembuhkan individu (manusia) yang bermasalah
(patologis). Namun, dalam praktek atau kenyataan, kita menyaksikan bahwa
manusia ternyata jauh lebih kompleks dari sekedar organisme dan materi.
(Zainal A., 2002)
Pandangan Islam
“Sungguh
kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur
yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu
kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan
kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”
(Q.S. Al-Insan : 2-3)
- Berbicara mengenai eksistensi manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti yang terdapat pada ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya manusia diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk hidup yang jelas Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus, apabila kemudian mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada manusia itu sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada manusia untuk dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya. Dalam memandang kebebasan menusia untuk berbuat sesuatu untuk hidupnya psikologi eksistensi juga mengungkapkan hal tersebut, manusia akan hidup dalam eksistensinya walaupun dengan pilihan hidup yang otentik dan tidak otentik manusia itu sendiri juga yang memilihnya. Namun ada hal yang tidak dapat ditemukan oleh pemakalah dalam eksistensi manusia itu sendiri. Yaitu dari mana manusia itu berasal sehingga bisa menjadi ada-di-dunia atau disebut Dasein. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Tidak ada penjelasan bagaimana manusia dan dunia bisa ada. Kami memang menemukan aspek “tuhan” serta ‘spiritual’ pada analisa mimpi yang dilakukan oleh Boss akan tetapi penjelasan aspek tersebut tidak ditemukan. Seolah-olah manusia dan dunia muncul dengan begitu saja kemudian manusia itu menyadari keberadaannya maka dia ‘ada’. Sedangkan dalam ayat diatas jelas manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur oleh Allah SWT. Begitu pula dalam surat Ar-Rahman ayat 4, “ Dia menciptakan manusia” serta pada ayat 7&10, “Dan langit telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.(7) Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”. Bahwa manusia dan dunia adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja ada. Memang dalam teori in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian transendensi disini menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi permasalahan dunianya.
PENUTUP
Psikologi
eksistensial adalah ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia
yang menggunakan metode analisis fenomenologis. psikologi eksistensial
bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Psikologi eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.
Struktur Eksistensi
- Ada-di-Dunia (Dasein)
- Ada-melampaui-Dunia (kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
- Dasar Eksistensi
- Rancangan Dunia
- Cara-cara Ada Dunia
- Eksistensial (Boss)
Psikologi
eksistensi tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari
perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Konsep
eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi.
Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses
menjadi sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah
untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan Dasein.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial untuk psikologi dan psikiatri, Bandung: PT Refika Aditama.
Al-Qur’an dan terjemah, 2006. Bandung: Diponegoro
Chaplin, J.P., 1999. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993. Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), Yogyakarta : Kanisius.
Boeree, C.George, 2004. Personality Theories, Yogyakarta : PRISMASHOPIE.
Sumber : http://psikologiuinjkt2004.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment