Love Is Power
oleh: Kholilur Rokhman
“Orang-orang yang beriman jauh lebih kokoh cintanya kepada Allah.” (QS. 2:165)
A. Definisi Mahabah
Dalam
dunia tasawuf kata mahabah berarti cinta kepada Allah Swt. Tasawuf
mendefinisikan mahabah sebagai kepatuhan kepada Allah dan menjauhi
larangan-Nya; menyerahkan diri kepada seluruh Yang dikasihi;
mengosongkan hari dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
Al-Junaid menganggap mahabah sebagai suatu kecenderungan hati, maksudnya
hari seseorang cenderung kepada Allah Swt. dan kepada segala sesuatu
yang datang dari-Nya tanpa usaha.
Menurut Al-Ghazali, cinta kepada Allah merupakan puncak dari segala makam mistik.
Setelah makam cinta, tidak ada lagi makam lain yang menandinginya.
Kalaupun ada, makam itu hanya menjadi salah satu buah cinta saja,
seperti kerinduan (syawq), keintiman spritual (uns),
rida dan makam lain yang sejenis. Sebelum cinta juga tidak ada makam
lain. Kalaupun ada, pasti akan menjadi salah satu pengantarnya saja,
seperti tobat, sabar, zuhud, dan yang lain.
B. Tingkatan Mahabah
Menurut
Abu Nasr as-Sarraj at-Thusi mahabah mempunyai tiga tingkat. (1) Cinta
orang biasa, yaitu selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut
nama Allah Swt. dan memdapatkan kesenangan dalam berdialog dengan-Nya
serta memuji-Nya. (2) Cinta orang jujur, yaitu orang yang kenal kepada
Allah Swt. seperti kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya. Cinta ini
dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah
Swt. sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Allah Swt.
orang yang berada pada cinta ini akan selalu mendapatkan kesenangan
dengan “berdialog” pada Allah. Dan juga, dapat membuat orang sanggup
orang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri,
sementara hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada
Allah Swt. (3) Cinta orang arif, yaitu cinta orang yang benar-benar
mengetahui Allah Swt. yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi
diri yang dicintai. Akhirnya, sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam
diri yang mencintai. Cinta pada tingkat inilah yang menyebabkan seorang
hamba dapat berdialog dan menyatu dengan (kehendak) Allah Swt.
Setiap
orang mengakui bahwa cinta sulit untuk digolongkan, namun hal itu tidak
melelahkan seseorang untuk mencoba melakukannya. Klasifikasi mistik
terhadap tingkatan cinta berbeda dari analisis cinta filosofis yang
legal dan sekuler. Karena, para sufi secara konsisten menempatkan cinta
dalam konteks psikologi mistik mereka dari ‘keadaan’ (ahwal)
dan makam, dengan penekanan pada cinta sebagai transenensi diri.
Lebih-lebih, cinta dalam beragam bentuknya demikian penting, sehingga ia
secara umum diakui sebagai, “tujuan tertinggi dari seluruh makam dan
puncak tertinggi dari segala tingkatan,” dalam istilah Abu Hamid
Al-Ghazali.
C. Dasar Mahabah
Banyak sekali
yang mendasari paham mahabah baik itu dari Alquran, hadis maupun dari
sahabat dan ulama. Untuk itu mari kita perhatikan sebagai berikut:
“Katakanlah:
Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [1]
“…Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya,…”[2]
“Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan, hingga
Aku cinta padanya. Orang yang Ku-cintai menjadi telinga, mata, dan
tangan-Ku.” [3]Hadis ini, memberikan pengertian bahwa Tuhan dan makhluk dapat dipersatukan melalui paham cinta.
Rasulullah saw.
menjadikan cinta kepada Allah sebagai bagian dari syarat keimanan. Hal
ini dinyatakan dalam banyak hadis, antara lain ketika Abu Ruzayn
al-‘Uqayli bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah iman itu, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Iman itu mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi apa pun.”[4]
Hadis yang lain menyebutkan, “Seseorang belum dianggap beriman sampai aku lebih dicintai jauh melebihi cintanya kepada keluarga, harta, dan seluruh manusia.”[5] Dalam sebuah riwayat disebutkan, “…jauh melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.”
Rasulullah saw. juga memerintahkan kita agar mencintai Allah Swt., “Cintailah Allah, karena Dia telah melimpahkan nikmat kepadamu. Dan, cintailah aku, karena Allah mencintaiku!”[6]
Dalam
sebuah hadis terkenal disebutkan, ketika malaikat kematian datang
hendak mencabut nyawa Ibrahim a.s., beliau bertanya pada malaikat ini,
“Pernahkah kamu dapati seorang kekasih ingin membunuh kekasihnya?” Atas
pertanyaan Ibrahim, Allah kemudian menurunkan wahyu, “Pernahkah kamu
dapati seorang pencinta yang tak ingin berjumpa dengan kekasihnya?”
Ibrahim a.s. pun berkata, “Wahai, Malaikat Kematian, sekarang cabutlah
nyawaku!”[7]
Pengalaman
Nabi Ibrahim di atas hanya mungkin terjadi pada hamba yang mencintai
Allah dengan sepenuh hati. Ketika ia mengetahui bahwa kematian menjadi
jembatan menunju perjumpaan dengan Sang Kekasih, hatinya jadi dirundung
gelisah. Ia sadar, hanya Allahlah Sang Kekasih. Tak ada yang lain. Ia
pun langsung berpaling dari selain Allah Swt.
Salah satu doa Nabi saw. berbunyi, “Ya,
Allah! Jadikanlah aku orang yang mencintai-Mu, mencintai orang yang
mencintai-Mu, dan mencintai segala sesuatu yang dapat mendekatkan
cintaku kepada-Mu. Dan, jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi air sejuk
sekalipun.”
Abu
Bakr al-Shiddiq r.a. menuturkan, “Orang yang sudah merasakan nikmatnya
mencintai Allah secara tulus akan senantiasa sibuk dengan cintanya itu,
sehingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk berurusan dengan dunia.
Ia pun akan menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan manusia.”
‘Abd al-Wahid
ibn Zayd bercerita, “Suatu kali aku bertemu dengan seorang lelaki yang
sedang berdiri di atas salju. Aku bertanya, ‘Apa kamu tidak merasa
dingin?’ Dia menjawab, ‘Orang yang sibuk dengan cinta kepada Allah tidak
akan merasakan dingin sedikit pun.’”
Sarri
al-Saqathi berkata, “Pada Hari Kiamat nanti setiap umat akan dipanggil
sesuai dengan nama nabi masing-masing. Mereka akan dipanggil, ‘Wahai
umat Musa!’ ‘Wahai umat ‘Isa!’ ‘Wahai umat Muhammad!’ Namun,
tidak demikian halnya dengan mereka yang mencintai Allah. Mereka akan
dipanggil, ‘Wahai kekasih-kekasih Allah, kemarilah ke sisi-Ku!’ Hampir
copot hati mereka karena saking bahagianya mendengar panggilan itu.”
Menurut Harm ibn Hayyan,
“Ketika seorang mukmin sudah mengenal Tuhannya Yang Mahaagung dan
Mahamulia, ia pasti akan mencintai-Nya. Setelah mencintainya, ia pasti
akan menghampiri-Nya. Kala mencicipi manisnya dekat dengan-Nya, ia pasti
tidak akan memandang dunia dengan tatapan mata nafsu. Demikian juga ia
tidak akan memandang akhirat dengan tatapan mata sayu. Di dunia,
menghadap Allah membuatnya begitu lelah. Namun, di akhirat, hal itu
membuatnya lega dan nikmat.”
Dalam
sebagian kitab Allah disebutkan, “Wahai hambaku, demi hakmu, Aku
mencintaimu. Dan, demi hak-Ku padamu, hendaklah kamu mencintai-Ku!”
Banyak sekali hadis
dan tradisi ulama terdahulu yang berbicara tentang cinta kepada Allah
ini. Tidak mungkin semua dapat ditampung di sini.
D. Hakikat dan Faktor Penyebab Cinta
Membahas
cinta itu tidak terlepas dari hakikat, syarat, dan faktor penyebab
cinta. Maka, berikut penjelasan mengenai hakikat cinta:
Prinsip
pertama cinta mengenal terlebih dulu objek yang menjadi sasaran cinta
itu, sebelum mendeskripsikan cinta. Sebab, kenyataannya manusia hanya
mencintai apa yang ia kenal. Cinta itu sendiri juga tidak pernah dialami
benda-benda mati. Cinta hanya dialami benda-benda hidup yang sudah
terlebih dulu mengenal objek yang dicintainya.
Ada tiga jenis objek yang dikenal manusia. Pertama, objek yang sesuai dan seirama dengan naluri kemanusiaannya, yang bisa menimbulkan perasaan puas dan nikmat. Kedua, objek yang bertentangan dan berlawanan dengan naluri kemanusiaannya, yang menimbulkan perasaan pedih dan sakit. Ketiga, objek yang tidak menimbulkan pengaruh apa-apa terhadap naluri kemanusiaannya. Tidak menikmatkan juga tidak menyakitkan.
Jika
objek itu menimbulkan kesan kenikmatan dan kepuasan, pasti akan
dicintai. Jika objek itu menimbulkan kesan yang menyakitkan, pasti akan
dibenci. Dan, jika objek itu tidak menimbulkan kesan apa-apa, pasti
tidak akan dicintai atau dibenci.
Jika
demikian, manusia baru akan mencintai sesuatu yang nikmat kalau ia
sudah merasakan nikmatnya sesuatu itu. Yang dimaksud cinta di sini
adalah rasa yang secara naluriah cenderung atau suka terhadap sesuatu
tertentu. Sementara itu, yang dimaksud benci adalah rasa yang secara
naluriah membuat berpaling dari sesuatu tertentu. Dengan demikian dapat
disimpulkan, cinta adalah suatu ungkapan akan kecenderungan hati
terhadap segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan dan kepuasan. Jika
kecenderungan itu menguat dan bertambah besar, maka itu yang dinamakan
dengan ‘isyq (cinta yang memabukkan). Bila demikian dengan
cinta, maka benci adalah suatu ungkapan akan keberpalingan hati dari
sesuatu yang menyakitkan dan membosankan. Jika kecenderungan negatif ini
menguat, makan itu yang dinamakan dengan maqt (kebencian yang memuncak).
Prinsip kedua cinta adalah mengenal
ragam cinta. Karena cinta muncul setelah terlebih dulu mengenal dan
mengetahui, itu berarti cinta memiliki banyak ragam, sesuai dengan objek
yang dikenal dan diketahuinya serta indra yang ada. Setiap indra mengenal hanya satu jenis objek. Masing-masing hanya merasa nikmat terhadap objek tertentu saja.
Nikmat yang dirasakan indra penglihat
adalah memandang dan mengetahui objek yang indah serta gambar atau
lukisan yang bagus, elok, dan mengesakan. Nikmat yang dirasakan indra
pendengar adalah mendengarkan simfoni yang indah dan menggetarkan.
Nikmat yang dirasakan indra pencium adalah mencium aroma yang harum.
Nikmat yang dirasakan indra perasa dalah mencicipi makanan yang
enak-enak. Nikmat yang dirasakan indra peraba adalah sentuhan-sentuhan
halus dan lembut.
Karena masing-masing objek yang
dikenal pancaindra itu menimbulkan kenikmatan tersendiri, ia pun
dicintai oleh indra itu. Artinya, naluri sehat kita menyukainya. Oleh
karena itu, Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia ini: parfum, wanita, dan kenikmatan dalam salat.”[8]
Dalam hadis ini parfum disebut sebagai sesuatu yang beliau cintai.
Padahal seperti diketahui, parfum hanya dirasakan oleh indra pencium,
bukan indra penglihat atau pendengar. Wanita juga disebut sebagai
sesuatu yang beliau cintai. Padahal kita ketahui, yang merasakan
nikmatnya wanita hanyalah indra penglihat dan peraba, bukan indra
pencium, perasa, dan pendengar. Demikian pula salat disebut sebagai
sesuatu yang paling beliau cintai. Padahal kita ketahui, yang merasakan
nikmatnya salat itu bukan indra yang lima, tetapi indra keenam yang
disebut dengan hati. Oleh karenanya, hanya orang yang mempunyai hati
yang bisa merasakan betapa nikmatnya salat.
Indra yang lima dimiliki baik oleh
manusia maupun binatang. Apabila cinta hanya sebatas apa yang dikenali
pancaindra, maka timbul pertanyaan. “Mungkinkah Allah Swt. dicintai,
sementara Dia tidak dapat dikenali lewat pancaindra dan tidak dapat
digambarkan dalam khayal?” Lebih lanjut, jika hanya mengandalkan
pancaindra, maka pertanyaanya, “Apa ciri khas manusia sebagai makhluk?”
Manusia itu istimewa karena dilengkapi dengan fasilitas istimewa berupa
indra keenam berupa akal, nur, hati, atau apa pun istilahnya.
Dengan demikian, pandangan mata batin
jauh lebih kuat dibandingkan pandangan mata lahir. Hati memiliki
kemampuan mengetahui yang jauh lebih besar dibandingkan mata. Keindahan
rohani yang diperoleh dengan kekuatan akal jauh lebih mengesankan
dibandingkan keindahan gambar atau lukisan yang ditangkap indra
penglihat. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa kenikmatan yang
dirasakan hati—setelah ia mengetahui berbagai nilai keagungan dan
ketuhanan yang tidak mampu dicapai oleh pancaindra—jauh lebih sempurna
dan lebih memuncak. Tak heran bila kecenderungan naluri dan akal sehat
kepada yang demikian itu pasti lebih kuat. Dan, cinta tidak dapat
diartikan lain kecuali sebagai kecenderungan atau kesenangan terhadap
sesuatu yang diketahui bisa memberikan kenikmatan.
Prinsip
ketiga adalah mengenali untuk siapa cinta itu diberikan. Seperti
diketahui, manusia jelas mencintai dirinya sendiri. Jika ia mencintai
orang lain, itu pun demi dirinya sendiri. Bisakah tergambar dalam
pikiran kita, manusia mencintai orang lain demi orang lain, bukan demi
dirinya sendiri? Saya yakin masalah ini akan sulit dipahami oleh orang
yang kualitas pemikirannya masih dangkal. Bahkan, bagi orang yang
demikian, sungguh tidak masuk akal membayangkan seseorang mencintai
orang lain demi orang lain itu. Tidak ada timbal balik apa pun terhadap
orang yang mencinta itu kecuali semata-mata karena dia mengenal orang
lain yang dicintainya itu. Tidak ada yang berhak untuk dicintai kecuali
Dia. Dia itu Allah Swt.
E. Cerita Cinta Pecinta
1. Rabial Al-Adawiyah (95-185 H/713-801 M)
Menurut Rabiah
cinta kepada Allah Swt. adalah memusatkan seluruh jiwa kepada Allah Swt.
Untuk membuang segala yang lain. Hal ini terlihat dalam setiap
puisi-puisi yang dilantunkannya. Rabiah selalu melantunkan sebuah puisi
yang berisi sebuah kritikan sosial. Ia selalu mengingatkan kepada umat
manusia bahwa janganlah beribadah kepada Allah hanya mengharap surga dan
takut akan surga. Beribadahlah kepada Allah hanya karena cinta dan
rindu kepada-Nya. Suatu ketika, Al-Tsawri bertanya kepada
Rabi‘ah, “Apa hakikat imanmu?” Dia menjawab, “Aku tidak menyembah-Nya
karena takut neraka atau berharap surga. Aku tidak seperti buruh jahat.
Aku menyembah-Nya semata karena cinta dan rindu pada-Nya.” Adapun puisi-puisi itu sebagai berikut:
Aku mengabdi kepada Allah bukan karena takut kepada neraka
Dan bukan pula karena ingin masuk surga
Aku hanya mengabdi karena cintaku dan rinduku kepada-Nya
***
Tuhanku jika aku memuja Engkau karena takut neraka
Maka bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku memuja kepada Engkau karena mengharap surga
Maka jauhkanlah aku darinya
Akan tetapi jika aku memuja hanya semata-mata karena Engkau
Maka janganlah Engkau sembunyikan kecantikan yang kekal itu
Perasaan cinta
yang telah meresap ke dalam lubuk hati Rabiah menyebabkan ia
mengorbankan hidupnya semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt.
Cinta Rabiah kepada Allah Swt. merupakan cinta suci, murni, dan sempurna
seperti yang disenandungkan dalam syairnya sebagai berikut:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta:
Cinta egois (hawa) dan cinta yang layak Engkau terima
Cinta egosi adalah cintaku dalam mengingat-Mu dan tiada lagi yang lain
Tetapi demi cinta yang layak Engkau terima
Engkau akan sibakkan selubung itu agar aku melihat-Mu
Tiada pujian untukku dalam cinta mana pun
Segala puji itu milik-Mu dalam cinta yang ini dan cinta yang itu.
Buah hatiku hanya Engkaulah yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu
Engkaulah harapnku, kebahagianku, dan kesenanganku
Hatiku enggan mencintai selain Engkau
Cinta yang
mendalam kepada Allah Swt. begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga ia
selalu menolak seluruh tawaran menikah baik tawaran yang berasal dari
gubernur sekalipun maupun tokoh sufi terkemuka. Dirinya hanya milik
Allah yang dicintainya.
Ada
sebuah pertanyaan yang menghampirinya, “Apakah engkau membenci setan?”
dia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang
kosong dalam diriku untuk rasa benci pada setan.” Demikian pula ketika
ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw. Rabiah menjawab,
“Saya cinta kepada Nabi Muhammad Saw. siapa yang tidak mencintai Nabi
dari seluruh alam ini? Tetapi cinta yang aku persembahkan kepada Allah
Swt. memalingkan diriku dari cinta kepada hambanya.”
Rabiah
adalah sosok yang selalu terlihat sedih dan banyak menangis. Setiap
kali dia mendengar neraka disebutkan, dia langsung pingsan pada saat itu
juga. Dia berkata, “Istigfar tidak memerlukan istigfar lainnya.” dia
juga selalu menolak pemberian orang kepadanya dan berkata, “Aku tidak
lagi memerlukan dunia.”
Suatu
hari Rabi‘ah al-‘Adawiyyah berkata, “Siapa yang dapat menunjukkan saya
bertemu Sang Kekasih?” Pelayannya menjawab, “Sang Kekasih bersama kita,
tetapi dunia menghalangi kita bertemu dengan-Nya.”
Suatu saat Rabi‘ah ditanya, “Apa pendapat
Anda tentang surga?” Dia menjawab, “Pasangan dan rumah.” Kemudian ia
menambahkan, “Hatiku tak pernah menoleh ke surga. Aku terfokus kepada
Sang Pemilik surga. Siapa saja tidak mengenal Allah di dunia, maka ia
tidak akan mengenal-Nya besok di akhirat. Siapa yang tidak memperoleh
kenikmatan makrifat di dunia, maka ia tidak akan memperoleh
kenikmatan menatap wajah Allah besok di akhirat. Sebab, tidak ada yang
muncul tiba-tiba di akhirat. Semua harus dibawa dari dunia. Seseorang
tidak akan menuai selain apa yang ia tanam. Pada Hari Kiamat nanti
setiap orang akan dikumpulkan sesuai dengan bagaimana keadaan ketika ia
menyambut kematian, karena semua manusia akan mati sesuai keadaan ketika
ia menjalani kehidupan.”
2. Jalaludin Ar-Rumi (604-670 H/1207-1273 M)
Cinta adalah realitas abadi, namun ia cenderung memudar dan menghilang. Cinta sejati bergantung pada pemahaman.
Cinta adalah api berkobar
Pecinta adalah buah kemilau di antara bintang-bintang (Rumi)
***
Tanah bukanlah debu
Tapi kapal yang bersimbah darah, darah pecinta
Tanpa kata-kata-Mu jiwaku kehilangan telinga
Tanpa telinga-Mu jiwaku kehilangan lidah
Pada kutipan “Tanah bukanlah debu” Rumi
menggunakan imaji-imaji yang dramatis dan jarang digunakan oleh penyair
sufi yang lain. Coba kita perhatikan kutipan puisi di atas. Cinta itu
menuntut pengorbanan yang besar
Rumi
menyatakan melalui puisi-puisinya bahwa pemahaman atas dunia hanya
mungkin lewat cinta, bukan semata-mata dengan kerja yang bersifat fisik.
Cinta manusia, menurut Rumi mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut:
Pertama, memuja segala hal, yaitu orang, wanita, harta dan tahta. Kedua, memuja Tuhan. Ketiga, cinta
mistis, yaitu seseorang tidak mengatakan ia memuja Tuhan atau tidak.
Tahapan ketiga ini, memberikan pengertian Tuhan menjadi berbeda dengan
pengertian orang atheis yang penuh kontradiksi.
Menurut
Rumi, manusia senatiasa tidak puas. Nafsunya selalu ingin terpenuhi.
Karena, itu ia harus bertarung melalui segala usaha dan ambisi. Namun,
baru dalam hal cintalah ia akan menemukan kepuasaan.
Cinta
adalah sesuatu yang sungguh-sungguh, karena itu membutuhkan kesungguhan
pula. Dan cara yang baik harus ditempuh untuk mencapainya, seperti ia
tulis dalam puisinya:
Air butuh perantara supaya panas
Yaitu periuk dan api
Cinta yang dimaksud Rumi disini termasuk lenyapnya ke-diri-an, yaitu kesatuan sempurna kekasih Tuhan, dengan Tuhan. Ketiadaan diri, yang menjadi hakekat cinta kesufian adalah terjemahan mistis dan kreatif dari hadis Nabi yang menyebutkan bahwa “Kemiskinan adalah tetanggaku.” Kemiskinan
di sini diartikan sebagai kemiskinan diri atau ketiadaan diri serta
terkendalinya hawa nafsu keduniawian. Dengan ketiadaan diri berarti
terbuka bagi memancarnya cahaya Ilahi. Bukankah ketiadaan diri berarti
hanya Tuhan yang ada?
Jadi
tujuan peniadaan diri ini, tiada lain adalah untuk memperterang jalan
yang akan ditempuh menuju ke pemahaman kenyataan bahwa tidak ada wujud
hakiki kecuali Tuha. “Aku Tiada,” berarti, “Tuhan adalah segala-galanya.” Rumi melukiskan cinta kerohanian semacam ini dalam puisinya:
Dari tubuh Kau jauh, tapi dalam hatiku ada jendela menghadap-Mu
Lewat rahasi jendela itulah, seperti bulan, kukirim pesan kepada-Mu
Bagi sufi hanya hatilah tempat
menerima kehadiran Tuhan. Bukan akal. Hal ini sering kali diucapkan oleh
Rumi dalam puisi-puisinya.
Karena cinta
Kematian berubah menjadi kehidupan
Puisi
tersebut, mengingatkan kita pada kisa Al-Hallaj yang telah dipenggal.
Bagi seorang sufi, kematian adalah suatu tanda kehidupan yang baru.
Kematian yang dimaksud adalah kematian dalam mencapai makrifat. Karena,
hidup sebagai orang biasa yang terikat pada dunia semata adalah fana,
sedangkan hidup dalam api ketuhanan bersifat kekal. Hal ini juga
diungkapkan oleh Rumi dalam puisi-puisinya:
Bila seseorang memperoleh wujud luar seperti musim dingin
Ia punya harapan memperoleh musim semi di dalam dirinya sendiri
Ungkapan musim dingin menunjuk
pada beku, mati sebelum seseorang mati. Maksudnya lenyap keinginan
dunianya, dan telah berada dalam kondisi kezuhudan, mekipun tetap
menjalankan kehidupan di dunia dengan kewajiban-kewajiban sebagai
manusia.
Siapasaja menuju kekasih Ilahi
Ia memuja cahaya Ilahi dalam dirinya
Siapasaja memuja matahari
Ia memuja matanya sendiri
Matahari di sini
adalah perlambang dari penglihatan batin dan cahaya ketuhanan, dan Rumi
tidak mengajak kita melakukan pemujaan seperti orang Politeis di Mesir
atau India.
Hati ngilu inilah yang memberingkan birahi telanjang pencinta
Tiada sakit dengan hati yang menyembuhkan luka seperti itu
Cinta adalah rasa pilu karena berpisah
Dan bola kaca rahasia-rahasia Tuhan.
Apakah ia buatan langit ataupun bumi
Cinta akan membimbing kita ke sana pada akhirnya
Pikiran akan gagal menerangkan cinta
Seperti keledai di Lumpur: cinta sendirilah pengurai cinta
Tidakkah matahari sendiri yang menerangkan matahari?
Kenali ia! Seluruh bukti yang kau cari ada di sana
3. Abu Bakar
Rasulullah saw. suatu kali berkata kepada Abu Bakr, “Sesungguhnya,
Allah Swt. telah memberimu keimanan seperti keimanan seluruh umatku
yang beriman kepadaku. Dia memberiku keimanan seperti keimanan seluruh
anak-cucu Adam yang beriman kepada-Nya.”[9]
Dalam hadis lain, beliau juga bersabda kepada Abu Bakr, “Allah
mempunyai tiga ratus perangai akhlak. Siapa saja yang dikaruniai salah
satu perangai akhlak-Nya itu diserti tauhid, maka ia dijamin masuk
surga.” Abu Bakr bertanya, “Rasulullah, apakah salah satu perangai
akhlak-Nya itu ada padaku?” Beliau menjawab, “Semua ada padamu, wahai
Abu Bakr. Salah satu yang paling dicintai Allah adalah kedermawanan.”[10]
Beliau juga bersabda, “Aku
melihat timbangan digantung dari langit. Aku diletakkan di satu anak
timbangan, sedangkan umatku di letakkan di anak timbangan satunya lagi.
Ternyata aku lebih berat dibandingkan dengan mereka semua. Lalu, Abu
Bakr diletakkan di satu anak timbangan, sedangkan umatku dikumpulkan
lalu diletakkan di anak timbangan satunya lagi. Ternyata ia juga lebih
berat dibandingkan dengan mereka semua.”[11]
Namun
bersama itu semua, hati beliau sudah tenggelam habis dalam Allah
sehingga tak ada lagi celah sedikit pun bagi selain Dia. Tidak heran
bila beliau bersabda, “Kalau aku boleh menjadikan manusia sebagai
temanku, pasti aku menjadikan Abu Bakar sebagai temanku. Namun, teman
kalian ini adalah teman Allah Swt.”[12] Maksudnya, diri beliau sendiri.
4. Kisah Seorang Arif
Seseorang
berkata kepada salah seorang arif, “Bukankah kamu seorang pencinta?” Dia
menjawab, “Tidak, aku bukan seorang pencinta, tetapi akulah kekasih
yang dicinta. Seorang pencinta tersiksa oleh rasa lelah.” Orang itu
berkata lagi, “Banyak orang berkata bahwa kamu adalah salah satu dari
tujuh wajah dirimu sendiri.” Dia menjawab, “Aku adalah ketujuh wajah itu
secara utuh.”
Dia
juga pernah berkata, “Jika kamu melihat diriku, maka pasti kamu akan
melihat empat puluh wajah.” Lalu ia ditanya, “Bagaimana bisa, sedangkan
kamu hanya satu?” Ia menjawab, “Sebab, aku melihat empat puluh wajah.
Setiap wajah adalah cermin dari akhlak-Nya.”
Ada
orang bertanya, “Aku dengar kamu melihat Khidir as.” Mendengar
pertanyaan itu, ia tersenyum, lalu berkata, “Orang yang melihat Khidir
itu tidak aneh. Yang aneh justru kalau Khidir ingin melihat orang itu,
tetapi Khidir tak bisa melihatnya.”
Diceritakan
bahwa Khidir pernah berkata, “Sehari pun belum pernah terjadi ada wali
Allah yang tidak aku ketahui. Sampai pada suatu hari aku melihat seorang
wali yang tidak aku kenali.”
Dalam
salah satu keterangan disebutkan bahwa Allah Swt. berkata kepada salah
seorang nabi, “Sesungguhnya, orang yang Aku jadikan sebagai teman-Ku
hanyalah orang yang tak kenal lelah berzikir mengingat-Ku, tak punya
keinginan lain selain Aku, dan tak pernah mendahulukan apa pun dari
makluk-Ku sebelum Aku. Jika ia dibakar dengan api, maka ia tak merasa
sakit. Jika ia dipotong-potong dengan gergaji, maka ia tidak merasa
sentuhan besi itu menimbulkan rasa sakit. Lalu, orang yang kualitas
cintanya tidak mencapai taraf seperti ini, bagaimana mungkin ia dapat
mengetahui karamah dan mukasyafah yang ada di balik
iman? Semua itu terdapat di balik cinta, sedangkan cinta terdapat di
balik iman yang sempurna. Sementara itu, maqam-maqam iman dan
perubahannya menjadi berkurang atau bertambah tidak terhitung
jumlahnya.”
F. Komentar Cinta dari Para Pencinta
Abu Sofyan berkata, “Cinta adalah mengikuti Rasulullah saw.” Yang lain berkata,
“Cinta adalah tenggelam selamanya dalam zikir mengingat Allah.” Yang
lain lagi berkata, “Cinta adalah mengutamakan Sang Kekasih.” Sebagian
yang lain lagi berkata, “Cinta adalah kebencian terhadap keabadian hidup
di dunia.”
Itu
semua merupakan ungkapan yang merujuk pada buah dari cinta. Mengenai
substansi dari cinta itu sendiri, mereka cenderung tutup mulut dan tidak
berani melukiskan dengan kata-kata. Salah seorang sufi berkata,
“Hakikat makna cinta bersumber dari Sang Kekasih. Hati tak mampu
menangkapnya. Lidah juga tak mampu mengungkapkannya.”
Al-Junaid
berkata, “Allah mengharamkan cinta bagi orang yang di hatinya masih
terdapat ketergantungan kepada selain Dia.” Masih kata al-Junayd, “Cinta
adalah kesetiaan. Jika kesetiaan telah hilang, maka hilanglah rasa
cinta.” Dzu al-Nun al-Mishri berkata, “Katakan kepada orang yang
menunjukkan rasa cinta kepada Allah Swt., ‘Hati-hati, jangan sampai
tunduk kepada selain Allah.’”
Al-Syibli berkata dalam senandung syair berikut:
Wahai Tuan Yang Mulia
Cinta-Mu menancap di pangkuan hamba
Wahai Yang mengangkat kantuk dari pelupuk mata
Engkau Mahatahu apa yang terlintas dalam dada
Yang lain juga bersyair:
Aku salut pada siapa yang berkata,
“Kuingat Karibku senantiasa”
Pernahkah aku melupakan Dia?
Aku akan ingat apa yang kulupa!
***
Aku telah mati
Begitu mengingat-Mu hidup kembali
Kalau bukan karena baik sangka
Mana mungkin aku kembali bernyawa?
***
Aku hidup karena secercah harapan
Aku mati karena segudang kerinduan
Berapa kali sudah aku hidup karena-Mu
Berapa kali sudah aku mati karena-Mu
***
Kuteguk cinta, gelas demi gelas
Tak habis-habis, tak puas-puas
Semoga membayangkan Dia
Dia hadir di depan mata
Sebab jika tak kulihat Dia
Pasti aku menjadi buta
Ibn al-Jala’ rahimahu Allah bercerita,
“Allah mewahyukan kepada ‘Isa, ‘Sungguh, jika Aku menampakkan diri
dalam rahasia hati seorang hamba, maka pasti tak akan Kutemukan lagi
rasa cinta kepada dunia dan akhirat dalam hatinya. Sebab, Aku sudah
memadatinya dengan cinta-Ku dan Aku kepung dia dengan penjagaan-Ku.’”
Ibrahim
ibn Adham berkata, “Tuhanku, Engkau tahu bahwa surga tak sebanding
dengan selembar sayap nyamuk pun bagiku di sisi cinta yang Engkau
anugerahkan padaku, Engkau bahagiakan aku dengan zikir menyebut-Mu, dan
Engkau lapangkan aku untuk memikirkan kebesaran-Mu.”
Al-Sarri rahimahu Allah berkata,
“Siapa yang mencintai Allah, maka ia pasti hidup. Siapa mencintai
dunia, maka ia pasti terkebiri. Orang bodoh, pagi dan sore, senantiasa
lalai. Orang berakal senantiasa memeriksa aib dan kekurangannya.”
Nabi ‘Isa pernah ditanya mengenai amal paling utama di sisi Allah. Beliau menjawab, “Rida dan cinta kepada Allah.”
Abu
Yazid Al-Busthami berkata, “Seorang pencinta adalah orang yang tidak
mencintai dunia atau akhirat. Ia hanya mencintai Sang Tuan, hanya Sang
Tuan.”
Al-Syibli berkata, “Cinta itu nikmatnya begitu dahsyat, namun keagungannya begitu membigungkan.”
Konon,
cinta tidak mementingkan diri sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun
dalam diri, dari diri, untuk diri. Cinta adalah keakraban hati dengan
Sang Kekasih, diliputi perasaan senang dan bahagia.
Al-Khawwash pernah berkata, “Cinta adalah menghapus segala keinginan, juga membakar seluruh sifat dan kebutuhan.”
Sahl
pernah ditanya tentang cinta. Ia menjawab, “Belas kasih Allah dalam
hati hamba-Nya, agar ia dapat menyaksikan-Nya setelah memahami maksud
dan keinginan dari-Nya.”
Harm ibn Hayyan
berkata, “Ketika mengenal Tuhannya, seorang mukmin pasti akan
mencintai-Nya. Ketika sudah mencintai-Nya, ia pasti akan datang
menghadap kepada-Nya. Ketika ia merasakan manisnya menghadap kepada-Nya,
ia pasti tidak memandang dunia dengan mata bernafsu dan tidak memandang
akhirat dengan mata berbunga-bunga. Memang, di dunia begitu meletihkan,
tetapi di akhirat begitu menyenangkan.”
‘Abdullah ibn Muhammad
bertutur, “Aku pernah mendengar seorang wanita ahli ibadah berkata
dalam isak tangis dan air mata bercucuran di pipinya, ‘Demi Allah, aku
sudah bosan hidup. Andai maut diperjualbelikan, pasti sudah kubeli, demi
cinta dan kerinduanku bertemu dengan-Nya.’ Lalu aku bertanya, ‘Kamu
begitu percaya dengan amalmu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, aku hanya
mencintai-Nya, berbaik sangka pada-Nya. Kubiarkan Dia menyiksaku, yang
penting aku mencintai-Nya!’”
Allah
mewahyukan kepada Dawud as., “Kalau saja orang yang merenungkan Aku itu
tahu, betapa Aku menunggu kedatangan mereka, betapa Aku selalu menemani
mereka, dan betapa Aku rindu untuk menyingkirkan kemaksiatan dari
mereka, maka pastilah mereka akan mati karena rindu bertemu Aku.
Tulang-belulang mereka juga pasti terpotong-potong karena kecintaan
mereka kepada-Ku. Wahai Dawud, inilah kehendak-Ku terhadap orang-orang
yang merenungkan Aku. Bayangkan, bagaimana kehendak-Ku kepada
orang-orang yang menghadap Aku? Wahai Dawud, sesuatu yang paling aku
butuhkan dari seorang hamba adalah ketika ia tak lagi membutuhkan Aku
(untuk memenuhi keinginannya itu). Sesuatu yang paling aku sayangi pada
hambaku adalah ketika ia merenungkan Aku. Dan, sesuatu yang paling agung
bagiku adalah ketika ia kembali kepada-Ku.”
Abu
Khalid al-Shaffar bercerita, “Salah seorang nabi bertemu dengan seorang
ahli ibadah. Ia berkata, ‘Kalian, wahai hamba-hamba Allah, telah
melakukan amal yang tidak pernah dilakukan kami para nabi.
Kalian melakukan amal karena takut dan berharap sesuatu, sementara kami
melakukan amal karena cinta dan kerinduan.’”
Al-Syibli rahimahu Allah bertutur,
“Allah mewahyukan kepada Dawud, ‘Wahai Dawud, Aku hanya ingat kepada
orang yang mengingat-Ku. Surga-Ku hanya diperuntukkan bagi orang-orang
yang taat. Aku hanya berkunjung kepada orang-orang yang merindukan Aku.
Secara khusus, Aku adalah milik orang-orang yang mencintai-Ku.”
Allah
Swt. mewahyukan kepada Nabi Adam as., “Wahai Adam, siapa saja yang
mencintai Sang Kekasih, maka ia pasti membenarkan apa pun yang
diucapkan. Siapa saja yang merasa damai bersama Sang Kekasih, maka ia
pasti rida terhadap apa pun yang dilakukan. Siapa saja yang betul-betul
merindukan-Nya, maka ia pasti berjalan menemui-Nya tanpa kenal lelah.”
Al-Khawash rahimahu Allah memukul-mukul dadanya dan berkata, “Alangkah rindunya hati ini kepada Zat yang melihatku, tetapi aku tak melihat-Nya.”
Al-Junayd rahimahu Allah bertutur,
“Yunus as. menangis hingga buta, berdiri hingga doyong, dan bersalat
sampai terduduk, seraya berkata, ‘Demi kemulian dan keagungan-Mu, andai
antara aku dan Engkau terbentang lautan api, maka pasti kuarungi demi
kerinduanku pada-Mu.”
‘Ali karrama Allah wajhah bercerita, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sunah beliau. Beliau menjawab, ‘Makrifat
adalah harta kekayaanku, akal adalah pangkal agamaku, cinta adalah
asasku, kerinduan adalah kendaraanku, zikir mengingat Allah adalah
kedamaianku, kepercayaan adalah harta simpananku, kesedihan adalah
sahabatku, ilmu adalah senjataku, kesabaran adalah selendangku, rida
adalah harta rampasan perangku, kelemahan adalah kebanggaanku, zuhud
adalah mata pencahariaanku, keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran dan
penolongku, ketaatan adalah kecintaanku, perjuangan adalah akhlakku, dan
puncak kesenanganku dalam salat.’”[13]
Dzu
al-Nun al-Mishri berkata, “Mahasuci Zat yang menjadikan ruh sebagai bala
tentara. Ruh para arif begitu agung dan suci. Oleh karena itu, mereka
rindu bertemu Allah Swt. Ruh orang mukmin bersifat rohaniah. Mereka
mengelu-elukan surga, sedangkan ruh orang-orang lupa bersifat hawa
nafsu. Oleh karena itu, mereka condong menyukai dunia.”
Salah
seorang syekh pernah melihat seorang laki-laki di Gunung Likam. Ia
berkulit sawo matang, tubuhnya lemah, melompat dari satu batu ke batu
lainnya. Kudengar lelaki itu bersenandung berikut:
Cinta dan kerinduan
Telah membuat aku jadi begini
Seperti yang kau lihat ini
Ada yang mengatakan, “Kerinduan adalah
bola api yang dinyalakan Allah dalam hati kekasih-kekasih-Nya dan
membakar seluruh isi yang ada: berjuta kecemasan, bermacam keinginan,
berbagai rintangan, dan beragam kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Alquranul-Karim
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, t.th
Al-Bukhari, Imam, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Nasa’i, Imam, Sunan Nasa’I, Beirut: Dar al-Jail, t.th
Tirmizi, Imam, Sunan Tirmizi. Semarang: Thaha Putera, t.th
W. M., Abdul Hadi, “Rumi Sufi dan Penyair” Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.
Lawrence, Bruce B., “The Heritage of Sufism; Classical persian from it Origin to Rumi” terj. Ribut Wahyudi, judul, “Cinta, guru, dan Kewalian” Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003
Al-Sya’rani, ‘Abd Wahhab, “Tabaqatul-Kub Al-Musamat bi lawaqih Al-Anwar fi Tabaqatil-Akhyar” terj. Syarif Hade Masyah, Lc., M.Hum, judul, “Beranda Sang Sufi” Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
Al-Ghazali, Imam Muhammad, “al-Mahabbah wasy-Syawq wal-Uns war-ridha” terj. Asyari Khatib, judul, “Rindu Tanpa Akhir” Jakarta: Serambi, 2005
Redaksi, Team, Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
[1] QS. 3:31
[2] QS. 5:54
[3] HR. Al-Bukhari dan Hanbali.
[4] HR. Ahmad dengan beberapa tambahan di awal hadis.
[5] HR.Al-Bukhârî dan Muslim melalui jalur Anas.
[6] HR. Al-Tirmidzî melalui jalur Ibn ‘Abbâs. Menurutnya, kualitas hadis ini hasan gharîb (baik dan langka).
[7] Hadis ini tidak ditemukan sumbernya.
[8] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Nasâ’î melalui jalur Anas, tanpa kata “tiga”.
[9] Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Manshûr al-Daylamî dalam Musnad al-Firdaws melalui jalur al-Hârits al-A‘war, dari ‘Alî (urutan redaksi bisa bertukar di depan atau di akhir). Untuk diketahui, al-Hârits itu rawi dha‘îf (lemah).
[10] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Thabrânî dalam Al-Mu‘jam al-Awsath melalui jalur Anas secara marfû’ dari firman Allah (dalam hadis qudsî), “Aku
menciptakan sejumlah tiga ratus sepuluh macam akhlak. Siapa saja yang
memiliki satu saja di antara akhlak itu disertai kesaksian bahwa tidak
ada tuhan selain Allah, maka ia pasti masuk surga.” Hadis yang melalui jalur Ibn ‘Abbâs redaksinya sebagai berikut: “Islam terdiri dari tiga ratus tiga belas syariat.” Selain dalam Al-Mu‘jam al-Awsath, juga dalam Al-Mu‘jam al-Kabîr, melalui jalur al-Mughîrah ibn ‘Abd al-Rahmân
ibn ‘Ubayd, dari ayahnya, dan dari kakeknya terdapat redaksi serupa
dengan kata “iman”. Versi al-Bazzâr melalui jalur ‘Utsmân ibn ‘Affân
redaksinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah memiliki seratus tujuh belas syariat ….”
Dalam semua riwayat yang satu sebutkan ini tidak satu pun yang memuat
pertanyaan Abû Bakr dan jawaban Rasulullah, tetapi kualitas semua hadis
ini dha‘îf.
[11] Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad melalui jalur Abû Umâmah, dengan sanad dha‘îf.
[12] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim.
[13] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Qâdhî ‘Iyâdh melalui jalur ‘Alî ibn Abî Thâlib. Sayang, tidak ditemukan sanadnya.
0 comments:
Post a Comment